Pada prinsipnya globalisasi seakan-akan merupakan musuh besar bagai negara-negara miskin ataupun
negara berkembang saat ini yang tidak mampu melawan bahkan menghadang pun tidak
bisa. Globalisasi nyata-nyata telah membawa dampak yang sangat besar dan
terkadang mempunyai dampak positif dan terkadang pula mempunyai dampak negatif, namun untuk negara-negara yang masih berkembang
tentunya akan lebih banyak dampak negatifnya. Bagi negara maju globalisasi
adalah jalan untuk masuk dan mengekploitasi pasar-pasar di negara berkembang.
Menurut pandangan Prof. Werner Menski, yang dipertegas oleh para
doktrin hukum lain, Robertson (1995), bahwa titik akhir dari globalisasi
merupakan fenomena keanekaragaman yang hampir tak terbatas, yaitu benar-benar
sebagai "glocalization" dan bukan sebaliknya, penyeragaman yang
sangat tidak realistis. Jadi globalisasi berjalan bersamaan dengan glokalisasi
(pluralitas). Perlu didesakkan kepada visi unifikasi anti-pendukung pluralisme
bahwa pandangan mereka itu sesat dan sangat membahayakan baik terhadap
perdamaian dunia maupun terhadap kesejahteraan global. Di dunia masa kini, hal
yang sangat terbukti adalah bahwa munculnya perlawanan sengit dari kalangan
yang menolak visi "globalised uniformisation" (unifikasi globalisasi)
yang bermaksud menyeragamkan visi global, inisiatif dimana muncul dari Amerika
Serikat yang bernafsu untuk menjadikan dunia berada di bawah komandonya.
Permasalahan
timbul jika dilihat dari perspektif hukum adalah terjadinya globalisasi hukum,
yaitu dengan tidak semakin tegasnya pengaruh hukum dari batas-batas teritorial
dan kedaulatan negara sehingga hukum yang berlakupun menjadi semakin plural.
Hal ini disebabkan karena seorang individu bukanlah menjadi hanya anggota dari
masyarakat lokal, namun juga masyarakat suatu negara dan bagian dari masyarakat
internasional. Dalam praksisnya, dapat terjadi pertentangan antara norma-norma
yang berasal dari ketiga jenis masyarakat yang berbeda tersebut ataupun dengan
norma lainnya seperti norma agama. Dalam hal ini, interpretasi yang dilakukan
negara terhadap ketentuan-ketentuan internasional dalam rangka menjadikannya
instrumen hukum positif di dalam negeri harus mempertimbangkan kebutuhannya.
Di
era modernitas saat ini, dikenal sebuah teori hukum yang menjawab dunia
globalisasi yaitu “Triangular Concept Of Legal Pluralism” (Konsep segitiga
pluralisme hukum). Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian
dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Prof. Werner Menski, seorang profesor hukum
dari University of London, pakar hukum di bidang Hukum Bangsa-bangsa Asia dan
Afrika yang menonjolkan karakter plural kultur dan hukum. Dari subyek
kajiannya, Menski kemudian memperkenalkan teori hukumnya tersebut, yang sangat
relevan bagi hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Munculnya teori “triangular concept
of legal pluralism” menyebabkan banyak teori-teori hukum sebelumnya tergeser,
seperti teori “The Disorder Of Law” oleh Charles Sampford yang ekstrem untuk
menolak eksistensi sistem hukum, dan terutama menggeser keras teori-teori
klasik yang dianggap tidak relevan dengan dunia globalisasi, antara lain
teori-teori Positivistik dari Hans Kelsen dan Montesqueiu. Tetapi sebaliknya, “Triangular
Concept Of Legal Pluralism” dari Menski ini memperkuat konsep Lawrence M.
Friedman tentang unsur sistem hukum ke tiga, yaitu Legal Culture (kultur
hukum), yang sebelumnya belum dikenal, sebelum Friendman memperkenalkannya di
tahun 1970-an. Justru eksistensi kultur hukum yang sifatnya sangat pluralistik,
melahirkan kebutuhan adanya sebuah teori hukum yang mampu menjelaskan fenomena
pluralisme hukum, yang merupakan suatu realitas.
Di
era globalisasi saat ini, dimana hubungan antar warga dunia tidak lagi dibatasi
oleh sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara, tetapi di
hampir semua bidang, komunikasi yang semakin canggih menyebabkan dunia
tiba-tiba terasa menjadi suatu “negara dunia” dan setiap warga dunia dari suatu
negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan berhadapan dengan hukum asing
yang tentunya tak mungkin persis sama atau bahkan sangat kontra dengan hukum di
negaranya sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan perjalanan ke nagara
asing, baik secara fisik maupun melalui “dunia maya” (internet) akan merasakan
kehadiran realitas pluralisme hukum itu dalam kehidupanya. Misalnya ketentuan-ketentuan
yang telah disepakati dalam forum WTO seperti peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang disesuaikan untuk
mengikuti standar dalam Trade-Related Intellectual Properties Rights (TRIPS).
Contoh lainnya misalnya UU Penanaman Modal yang dibuat dengan menyesuaikan
standar-standar yang terdapat dalam Trade-Related Investment Measures (TRIMS).
Pluralisme
hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada baik antar
bangsa maupun di dalam satu negara tertentu. Contohnya di Amerika Serikat,
setiap ‘State’ (negara bagian) memiliki sistem hukum, sistem peradilan, dan
hukum positif masing-masing. Demikian juga di Indonesia, setiap daerah memiliki
hukum adat masing-masing melainkan juga pluralisme hukum adalah mengenai
perilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada disetiap
bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentunya menjadi sangat tidak
realistis, ketika berbagi sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang
sangat plural atau beranekaragam itu, hanya dikaji dengan mengunakan salah satu
jenis pendekatan hukum secara sempit saja, atau pendekatan moral belaka. Metode
yang sangat relevan di era globalisasi saat ini adalah menggunakan pendekatan
hukum : normatif, empiris dan filsufis secara proporsional dan serentak, metode
tersebut di kenal sebagai “Triangular Concept Of Legal Pluralism”.
B.
INTI TEORI TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM
Prof.
Wener Menski, guru besar hukum dari university of London, Inggris, di dalam
bukunya ”Comparative Law in a Global Content” (2006) merumuskan Teori Hukum
yang relevan untuk menjawab masalah-masalah hukum yang timbul di era
globalisasi. Menski menolak konsep “Anti-Pluralist” atau konsep “Unification
Visions” atau “Visions Of Globalised Uniformisation, Made By America Led
Initiatives”, yang pada dasarnya berupaya menyeragamkan visi internasional
dunia global di bawah satu visi ala Amerika, mengenai isu-isu krusial
menyangkut hukum, keadilan dan Hak Asasi Manusia.
Menghadapi
era globalisasi dunia, para doktrin hukum modern telah meninggalkan tiga
pendekatan hukum klasik yang cenderung ekstrem sempit hanya menggunakan salah
satu jenis pendekatan, apakah yang normatif (positivistik), empiris
(sosiologis, antropologis, psikologis dan lainnya) atau pendekatan nilai dan
moral (filsufis), teori Triangular Concept Of Legal Pluralism (konsep segitiga
menghadapi pluralisme hukum di era globalisasi dunia) menggunakan ketiga
pendekatan tersebut.
Hukum
sebagai fenomena global memiliki kesamaan di seluruh dunia. Dalam arti bahwa di
manapun kita berada, hukum terdiri atas dasar nilai etis, norma-norma sosial,
dan aturan-aturan yang dibuat oleh negara meskipun tentu saja di dalam realitasnya
muncul banyak sekali variasi kultur yang lebih spesifik. Hal ini hanya
mengonfirmasikan tentang premis dasar yang telah di ketahui bahwa semua hukum
adalah kultur spesifik dan bahwa di dalam berbagai bidang hukum seperti
kontrak. Perkawinan, dan pembunuhan adalah merupakan fenomena universal, yang
tampak secara terus menerus berubah dari waktu ke waktu. Dengan menggunakan
pendekatan tiga tipe utama hukum yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat,
hukum yang diciptakan oleh negara dan hukum yang timbulnya melalui nilai serta
etika, bahwa ketiga unsur tersebut bersifat plural. Untuk mudah memahami digambarkan
oleh Menski, yaitu yang utama pada konsep segitiga adalah unsur ‘masyarakat’
(number 1 to the triangle of society), yang kedua pada unsur ‘negara’ (number 2
to the triangle of state), dan ketiga pada dunia ‘nilai serta etika’ (number 3
to the realm of values and ethics). Dari hal tersebut, menjadi alasan mengapa
satu tipe teori hukum terhadap dirinya sendiri tidak akan bekerja untuk menjelaskan
sifat alami hukum yang hakikatnya bersifat plural.
Jadi
menurut Menski untuk memperkenalkan representasi grafis dari level of intrisic
the second pluralisme hukum, dimulai dengan hukum yang di temukan di dalam
kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah merupakan tempat dimana
hukum selalu berlokasi. Bahwa tak ada masyarakat tanpa hukum, pada poros pusat
dalam the triangle of society, norma-norma sosial dan proses-proses yang
menghasilkan beberapa validitas dan kewenangan dari lingkungan etika dan
nilai-nilai. Secara menyeluruh, citra intrinsik dari pluralisme hukum terdapat
dalam The Triangle Of Society. Hal itu membuktikan bahwa ini juga merupakan
kehidupan kultur, tetapi kultur yang mungkin juga secara intrisik bersifat
plural dan bersifat meluas ke dalam kehidupan kenegaraan dan ke alam nilai.
Dengan demikian, hal itu berarti bahwa analisis kultural juga akan memperoleh
manfaat dari penerapan metode analisis kesadaran pluralitas (pluralitas-conscious
analytical methods).
Selanjutnya,
The Triangle Of The State. Jenis hukum yang secara langsung bersumber dari
produk negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak terlihat, atau mungkin
juga dalam bentuknya sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar. Namun,
apapun bentuknya, apapun yang membentuknya, dan apa pun kemungkinan sifat yang
tepat dari negara, ini merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai jenis hukum
produk negara yang mana dapat mengambil bentuk dari aturan-aturan, norma-norma
ataupun input dalam negosiasi, yang tumbuh terutama dalam jenis segitiga hukum
produk negara ini. Menurut Chiba dikanal sebagai the second type of official
law atau tipe kedua dari hukum resmi negara, yaitu hukum negara yang tidak benar-benar
dibuat oleh negara, melainkan dilegitimasi berlakunya oleh negara. Penalaran
yang sama dapat diterapkan pada sisi lain dari “the statist trangle, kepada
tipe-tipe hukum produk negara (state-made law) yang mendapat pengaruh dari nilai-nilai
dan etika spesifik.
Selanjutnya,
ke pembahasan mengenai segitiga hukum alam (the triangle of natural law) dan
pengembangan keadaan yang plural, bagi tipe hukum yang bersumber dari segitiga
jenis hukum alam ini yang sumbernya telah berutang pada input-input yang
berhubungan erat dengan jenis segitiga hukum alam ini. Menurut istilah Chiba
sebagai ‘postulat hukum’ yang secara sebagian terbesar telah ‘berutang’, baik
mengenai eksistensi mereka maupun mengenai bentuk menreka, akibat kehadiran
negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran ‘some rule-negotiating
power’ yang menggerakan awal dari segitiga ini.
Di
contohkan oleh Achmad Ali dengan cerita, ketika orang melihat sebuah
"trafficlight" di persimpangan jalan, maka pernyataan yang muncul
bisa bermacam-macam respons, tergantung dari paradigma atau mazhab hukum apa
yang mendominasi pikiran dan persepsinya. Seseorang yang berparadigma
legalistik-positivis, akan menyatakan: "Trafficlight" itu agar setiap
pengguna lalulintas di jalan, harus berhenti jika lampu yang menyala adalah
berwarna merah!" Berbeda dengan seseorang yang berparadigma
psikologi-hukum (dan paradigma empiris hukum lainnya seperti sosiologi hukum),
akan mempertanyakan: "Benarkah ketika lampu merah nanti menyala, semua
pengguna jalan akan berhenti?" Kalau orang menaati untuk berhenti ketika
lampu merah, apa faktor psikologis yang menyebabkan dia taat? Dan kalau
seseorang melanggar lampu merah, apa faktor psikologis yang menyebabkan ketidak-taatannya?
Demikianlah opini dan sikap serta perilaku seseorang terhadap suatu fenomena
hukum, sangat ditentukan oleh faktor "mazhab hukum" yang
mendominasinya.
Contoh
lain, orang-orang yang menganut pandangan legalistik-positivis, cenderung akan
mempertanyakan: "Bagaimana agar hukum ditaati?" Sebaliknya, seseorang
yang menganut paham mazhab empiris, apakah sosiologis, antropologis, psikologis
dan lainnya, mungkin pertanyaannya menjadi: "Mengapa hukum harus
ditaati?".
Bagi
Werner Menski, tentu saja sangat tidak realistis, ketika berbagai sistem hukum,
sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beranekaragam itu,
hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit
saja, misalnya hanya menggunakan pendekatan positivis-normatif belaka atau
hanya menggunakan pendekatan empiris saja, atau pendekatan moral belaka. Tak
ada metode yang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era
globalisasi dunia dewasa ini kecuali dengan penggunaan secara proporsional
secara serentak ketiga pendekatan hukum; normatif, empiris (psikologi hukum, sosiologi
hukum, dan lainnya) dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular
Concept of Legal Pluralism. Dari paradigma legalistik-positivis saja, tentunya
hal satu-satunya yang penting adalah bentuk dari proses lahirnya suatu
perundang-undangan, atau dengan kata lain yang paling penting hanyalah
"legalitas"nya, bukan soal "legitim atau tidak legitim"nya.
Berbeda hanya jika kita menggunakan paradigma mazhab empiris, yang lebih
penting dari suatu perundang-undangan ataupun aturan hukum lain, adalah "apa
dan bagaimana dampak yang ditimbulkan suatu ketentuan hukum". Timbulnya
perbedaan itu, karena memang terdapat asumsi dasar yang berbeda secara mencolok
bagi kaum legalistik-positivistik, slogan mereka adalah manusia untuk hukum,
atau paling tidaknya, hukum untuk hukum. Berbeda halnya dengan asumsi dasar
kaum empiris-hukum yang slogannya adalah hukum harus untuk manusia, dan bukan
manusia untuk hukum. Pertemuan antara "ilmu hukum" dan
"psikologi hukum", adalah karena keduanya menjadikan perilaku manusia
sebagai objek kajiannya. Secara "legal-empiris", dampak mengacu ke
perilaku dan perilaku sering dapat diukur secara kuantitatif.
Suatu
fenomena hukum yang sama atau mirip, dapat menimbulkan reaksi yang tidak sama
dari masyarakat yang berbeda, atau dari individu yang berbeda. Oleh karena
itulah, kita dapat menekankan fungsi terpenting dari hukum, adalah sebagai
"guiding behavior" atau penuntun perilaku. Dan sebagai konsekuensi
dari fungsi tersebut, maka salah satu tujuan utama setiap kajian ilmiah hukum (bukan
sekadar kajian praktis seperti yang menjadi tujuan kajian legalistik-normatif)
adalah: "menemukan dampak hukum terhadap perilaku manusia ("legal
behavior").
Selanjutnya,
karena perilaku manusia dipengaruhi bahkan dibentuk oleh berbagai faktor "extra-legal"
(faktor nonhukum), faktor sosial, kultur, psikologi, politik, ekonomi, religi,
dan lainnya, maka merupakan hal yang tak terhindarkan untuk melibatkan
ilmu-ilmu sosial seperti psikolog dalam kajian ilmu hukum, dan inilah yang oleh
Richard L Schwartz, dinamakannya sebagai "external method", yang
diperlawankan dengan "internal method" (metode tradisional doktrinal
yang legalistik-normatif). Bagi Schwartz, Teori Hukum dan Ilmu Hukum dewasa
ini, mempunyai karakteristik oleh pembedaan antara "metode tradisional
doktrinal" (yang mendominasi kaum positivis) di satu pihak, dengan
"pendekatan-pendekatan yang diambil dari disiplin ilmu non-hukum atau
extra-legal disciplines (seperti psikologi, sosiologi, sejarah, ekonomi, dan
lainnya).
Salah
satu subjek psikologi hukum, adalah persepsi warga masyarakat terhadap hukum.
Persepsi bangsa Jepang terhadap penyelesaian konflik hukum sangat berbeda
dengan persepsi bangsa-bangsa Barat (dan yang juga latah ke Barat-Baratan
seperti sebagian anak bangsa Indonesia yang dilanda "virus legalistik-litigasi").
Persepsi penyelesaian konflik Barat adalah win or lose (menang atau kalah). Dan
pihak yang menang, benar-benar harus menang telak, sebaliknya pihak yang kalah,
juga harus dikalahkan secara telak. Contoh: Undang-undang Kepailitan yang
sepenuhnya mengadopsi paradigma Barat, dan yang bisa berakibat, seseorang yang
dinyatakan pailit, harus meninggalkan seluruh hartanya. Persepsi bangsa Jepang
terhadap penyelesaian konflik, adalah win-win solution (tidak boleh ada yang
terlalu kalah, dan tidak boleh ada yang terlalu menang). Di dalam pembagian
modern tentang "Sistem Hukum" yang ada di dunia, Sistem Hukum Jepang
dan China dikelompokkan sebagai "Far East Legal System" alias Sistem
Hukum Timur Jauh, yang sebenarnya, andai Indonesia tidak dirasuki oleh virus
legalistik-litigatif mantan penjajahnya, Belanda, juga akan termasuk dalam
sistem hukum itu, dan bukannya sebaliknya memaksa mendaulat diri tergolong
dalam "Sistem Hukum Eropa Kontiynental".
C.
KEADILAN HUKUM DI ARUS GLOBALISASI
Globalisasi
menimbulkan ketidakadilan hukum bagi negara berkembang, negara maju mendesak
peraturan yang menguntungkannya berlaku di negara berkembang Yang pada akhirnya
negara berkembang tidak mampu lagi menghalangi gelombang globalisasi tersebut.
Hanya hukum nasional atau lokal yang akan melindungi masyarakatnya dari ketidak-adilan
global. Negara sudah tidak mampu lagi melindungi masyarakatnya. Bagaimana hukum
akan bekerja di saat gelombang globalisasi begitu kuat. Soebekti berpendapat
bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran
dan kebahagian para rakyatnya. Dalam mengabdi kepada tujuan negara itu dengan
menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Tujuan hukum menurut hukum positif
kita tercantum dalam alinea empat Pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi
sebagai berikut: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpahdarah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep
keadilan tidak hanya konsep teori yang utama dalam filosofi hukum, tetapi sama
pentingya juga dengan pengertian hukum itu sendiri, keadilan juga merupakaan
wacana ilmilah yang umumnya mengenai kehidupan publik yang dipahami setiap
orang secara intuitif. Satu dari konsep tersebut, seperti “keberadaan atau
kebenaran” akan segera dipahami orang, khususnya dalam kontek negosiasi, pada
awalnya keadilan cenderung akan menimbulkan ketakutan. Kita dapat memberikan
contoh dari ketidak-adilan, tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan langsung
yang abstrak mengenai apakah sebenarnya keadilan, maka akan sulit untuk
mengetahui dari mana memulainya. Yang jelas adalah bahwa keadilan sebagai konsep
moral yang mendasar, dapat didefinisikan dalam konteks yang melibatkan
kesadaran, rutinitas dan pengertian moral. Penderitaan yang disebabkan oleh
badai, gempa dan serangan gajah tidak dapat dikatakan sebagai suatu ketidak-adilan.
Hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai ketidak-adilan adalah kegagalan untuk
melepaskan diri dari penderitaan tersebut. Keadilan adalah suatu masalah dimana
tidak hanya terdapat unsur kesadaran tetapi juga suatu aktivitas yang mempunyai
tujuan. Aktivitas tersebut bisa merupakan keberadaan dari sesuatu yang alami
seperti aparatur hukum dan kerajaan, atau sesuatu yang supernatural misalnya
kemarahan atau kebaikan Tuhan, adanya tujuan yang disadari merupakan kondisi
yang penting dalam membicarakan keadilan.
D.
TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM DI HUKUM INDONESIA
Globalisasi
sebagai sebuah fakta yang sangat tampak secara luas, bukannya dengan serius
ditantang sebagai sebuah peristiwa. Bagaimana menghubungkan globalisasi dengan
teori hukum dan pemahaman hukum. Saat ini tidak hanya ada dua sistem hukum di
dunia ini, yaitu common law system (Anglo-American Legal System) dan Civil Law
(Continental Europa Legal System), tapi lebih bervariatif. Salah satu
perbedaannya berikut :
a) Civil Law, berlaku di Benua Eropa
dan negara-negara mantan jajahanya.
b) Common Law, berlaku di Inggris,
Amerika Serikat, dan negara-negara berbahasa Inggris (Commonwealth)
c) Customary Law, di beberapa negara
Afrika, Cina dan India.
d) Muslim Law, di negara-negara muslim,
terutama di Timur Tengah.
e) Mixed system, Di Indonesia salah
satunya, dimana berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum
Islam.
Dalam
konteks demikian, negara maju sangat diuntungkan bila dibandingkan dengan
keuntungan yang didapat oleh negara berkembang. Selanjutnya, resep lain yang
telah diimplementasikan Indonesia adalah amendemen berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang yang terkait dengan kegiatan ekonomi dan bisnis.
Di antaranya adalah peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas,
pasar modal, penanaman modal. Demikian pula sejumlah badan usaha milik negara
secara agresif melakukan privatisasi, salah satunya dengan cara kerja sama
operasi dan go public. Pemerintah pun melakukan deregulasi atas peraturan
perundang-undangan di berbagai sektor. Terakhir sejumlah undang-undang diubah
dan dibentuk untuk menguatkan hukum jaminan bagi hak-hak kebendaan, termasuk
hak atas kekayaan intelektual.Pemaksaan dilakukan dengan cara mendorong
Indonesia mengikuti berbagai perjanjian internasional, di samping memanfaatkan
ketergantungan ekonomi Indonesia. Sebagai contoh berbagai perjanjian
internasional seperti WTO Agreements telah menjadi perjanjian internasional
yang penting untuk mengamankan kepentingan negara industri. Pemaksaan seperti
ini sulit untuk disebut sebagai pelanggaran atas hukum internasional ataupun
campur tangan dalam urusan domestik Indonesia.
sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat bagi pribadi dan orang disekililingnya...semoga review anda sebagai salah satunya...amiinn..
BalasHapusterima kasih,
R. Tuahunse
Amiin... terima kasih doanya, pak :)
Hapus