Kamis, 21 Juni 2012

“Triangular Concept of Legal Pluralism” dalam Pendekatan Hukum Modern di Dunia Globalisasi


Pada prinsipnya globalisasi seakan-akan merupakan  musuh besar bagai negara-negara miskin ataupun negara berkembang saat ini yang tidak mampu melawan bahkan menghadang pun tidak bisa. Globalisasi nyata-nyata telah membawa dampak yang sangat besar dan terkadang mempunyai dampak positif dan terkadang pula mempunyai dampak  negatif, namun untuk negara-negara yang masih berkembang tentunya akan lebih banyak dampak negatifnya. Bagi negara maju globalisasi adalah jalan untuk masuk dan mengekploitasi pasar-pasar di negara berkembang.
Menurut pandangan Prof. Werner Menski, yang dipertegas oleh para doktrin hukum lain, Robertson (1995), bahwa titik akhir dari globalisasi merupakan fenomena keanekaragaman yang hampir tak terbatas, yaitu benar-benar sebagai "glocalization" dan bukan sebaliknya, penyeragaman yang sangat tidak realistis. Jadi globalisasi berjalan bersamaan dengan glokalisasi (pluralitas). Perlu didesakkan kepada visi unifikasi anti-pendukung pluralisme bahwa pandangan mereka itu sesat dan sangat membahayakan baik terhadap perdamaian dunia maupun terhadap kesejahteraan global. Di dunia masa kini, hal yang sangat terbukti adalah bahwa munculnya perlawanan sengit dari kalangan yang menolak visi "globalised uniformisation" (unifikasi globalisasi) yang bermaksud menyeragamkan visi global, inisiatif dimana muncul dari Amerika Serikat yang bernafsu untuk menjadikan dunia berada di bawah komandonya.
Permasalahan timbul jika dilihat dari perspektif hukum adalah terjadinya globalisasi hukum, yaitu dengan tidak semakin tegasnya pengaruh hukum dari batas-batas teritorial dan kedaulatan negara sehingga hukum yang berlakupun menjadi semakin plural. Hal ini disebabkan karena seorang individu bukanlah menjadi hanya anggota dari masyarakat lokal, namun juga masyarakat suatu negara dan bagian dari masyarakat internasional. Dalam praksisnya, dapat terjadi pertentangan antara norma-norma yang berasal dari ketiga jenis masyarakat yang berbeda tersebut ataupun dengan norma lainnya seperti norma agama. Dalam hal ini, interpretasi yang dilakukan negara terhadap ketentuan-ketentuan internasional dalam rangka menjadikannya instrumen hukum positif di dalam negeri harus mempertimbangkan kebutuhannya.
Di era modernitas saat ini, dikenal sebuah teori hukum yang menjawab dunia globalisasi yaitu “Triangular Concept Of Legal Pluralism” (Konsep segitiga pluralisme hukum). Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Prof. Werner Menski, seorang profesor hukum dari University of London, pakar hukum di bidang Hukum Bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang menonjolkan karakter plural kultur dan hukum. Dari subyek kajiannya, Menski kemudian memperkenalkan teori hukumnya tersebut, yang sangat relevan bagi hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Munculnya teori “triangular concept of legal pluralism” menyebabkan banyak teori-teori hukum sebelumnya tergeser, seperti teori “The Disorder Of Law” oleh Charles Sampford yang ekstrem untuk menolak eksistensi sistem hukum, dan terutama menggeser keras teori-teori klasik yang dianggap tidak relevan dengan dunia globalisasi, antara lain teori-teori Positivistik dari Hans Kelsen dan Montesqueiu. Tetapi sebaliknya, “Triangular Concept Of Legal Pluralism” dari Menski ini memperkuat konsep Lawrence M. Friedman tentang unsur sistem hukum ke tiga, yaitu Legal Culture (kultur hukum), yang sebelumnya belum dikenal, sebelum Friendman memperkenalkannya di tahun 1970-an. Justru eksistensi kultur hukum yang sifatnya sangat pluralistik, melahirkan kebutuhan adanya sebuah teori hukum yang mampu menjelaskan fenomena pluralisme hukum, yang merupakan suatu realitas.
Di era globalisasi saat ini, dimana hubungan antar warga dunia tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara, tetapi di hampir semua bidang, komunikasi yang semakin canggih menyebabkan dunia tiba-tiba terasa menjadi suatu “negara dunia” dan setiap warga dunia dari suatu negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan berhadapan dengan hukum asing yang tentunya tak mungkin persis sama atau bahkan sangat kontra dengan hukum di negaranya sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan perjalanan ke nagara asing, baik secara fisik maupun melalui “dunia maya” (internet) akan merasakan kehadiran realitas pluralisme hukum itu dalam kehidupanya. Misalnya ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam forum WTO seperti peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang disesuaikan untuk mengikuti standar dalam Trade-Related Intellectual Properties Rights (TRIPS). Contoh lainnya misalnya UU Penanaman Modal yang dibuat dengan menyesuaikan standar-standar yang terdapat dalam Trade-Related Investment Measures (TRIMS).
Pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada baik antar bangsa maupun di dalam satu negara tertentu. Contohnya di Amerika Serikat, setiap ‘State’ (negara bagian) memiliki sistem hukum, sistem peradilan, dan hukum positif masing-masing. Demikian juga di Indonesia, setiap daerah memiliki hukum adat masing-masing melainkan juga pluralisme hukum adalah mengenai perilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada disetiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentunya menjadi sangat tidak realistis, ketika berbagi sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beranekaragam itu, hanya dikaji dengan mengunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, atau pendekatan moral belaka. Metode yang sangat relevan di era globalisasi saat ini adalah menggunakan pendekatan hukum : normatif, empiris dan filsufis secara proporsional dan serentak, metode tersebut di kenal sebagai “Triangular Concept Of Legal Pluralism”.
B. INTI TEORI TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM
Prof. Wener Menski, guru besar hukum dari university of London, Inggris, di dalam bukunya ”Comparative Law in a Global Content” (2006) merumuskan Teori Hukum yang relevan untuk menjawab masalah-masalah hukum yang timbul di era globalisasi. Menski menolak konsep “Anti-Pluralist” atau konsep “Unification Visions” atau “Visions Of Globalised Uniformisation, Made By America Led Initiatives”, yang pada dasarnya berupaya menyeragamkan visi internasional dunia global di bawah satu visi ala Amerika, mengenai isu-isu krusial menyangkut hukum, keadilan dan Hak Asasi Manusia.
Menghadapi era globalisasi dunia, para doktrin hukum modern telah meninggalkan tiga pendekatan hukum klasik yang cenderung ekstrem sempit hanya menggunakan salah satu jenis pendekatan, apakah yang normatif (positivistik), empiris (sosiologis, antropologis, psikologis dan lainnya) atau pendekatan nilai dan moral (filsufis), teori Triangular Concept Of Legal Pluralism (konsep segitiga menghadapi pluralisme hukum di era globalisasi dunia) menggunakan ketiga pendekatan tersebut.
Hukum sebagai fenomena global memiliki kesamaan di seluruh dunia. Dalam arti bahwa di manapun kita berada, hukum terdiri atas dasar nilai etis, norma-norma sosial, dan aturan-aturan yang dibuat oleh negara meskipun tentu saja di dalam realitasnya muncul banyak sekali variasi kultur yang lebih spesifik. Hal ini hanya mengonfirmasikan tentang premis dasar yang telah di ketahui bahwa semua hukum adalah kultur spesifik dan bahwa di dalam berbagai bidang hukum seperti kontrak. Perkawinan, dan pembunuhan adalah merupakan fenomena universal, yang tampak secara terus menerus berubah dari waktu ke waktu. Dengan menggunakan pendekatan tiga tipe utama hukum yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang diciptakan oleh negara dan hukum yang timbulnya melalui nilai serta etika, bahwa ketiga unsur tersebut bersifat plural. Untuk mudah memahami digambarkan oleh Menski, yaitu yang utama pada konsep segitiga adalah unsur ‘masyarakat’ (number 1 to the triangle of society), yang kedua pada unsur ‘negara’ (number 2 to the triangle of state), dan ketiga pada dunia ‘nilai serta etika’ (number 3 to the realm of values and ethics). Dari hal tersebut, menjadi alasan mengapa satu tipe teori hukum terhadap dirinya sendiri tidak akan bekerja untuk menjelaskan sifat alami hukum yang hakikatnya bersifat plural.
Jadi menurut Menski untuk memperkenalkan representasi grafis dari level of intrisic the second pluralisme hukum, dimulai dengan hukum yang di temukan di dalam kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah merupakan tempat dimana hukum selalu berlokasi. Bahwa tak ada masyarakat tanpa hukum, pada poros pusat dalam the triangle of society, norma-norma sosial dan proses-proses yang menghasilkan beberapa validitas dan kewenangan dari lingkungan etika dan nilai-nilai. Secara menyeluruh, citra intrinsik dari pluralisme hukum terdapat dalam The Triangle Of Society. Hal itu membuktikan bahwa ini juga merupakan kehidupan kultur, tetapi kultur yang mungkin juga secara intrisik bersifat plural dan bersifat meluas ke dalam kehidupan kenegaraan dan ke alam nilai. Dengan demikian, hal itu berarti bahwa analisis kultural juga akan memperoleh manfaat dari penerapan metode analisis kesadaran pluralitas (pluralitas-conscious analytical methods).
Selanjutnya, The Triangle Of The State. Jenis hukum yang secara langsung bersumber dari produk negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak terlihat, atau mungkin juga dalam bentuknya sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar. Namun, apapun bentuknya, apapun yang membentuknya, dan apa pun kemungkinan sifat yang tepat dari negara, ini merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai jenis hukum produk negara yang mana dapat mengambil bentuk dari aturan-aturan, norma-norma ataupun input dalam negosiasi, yang tumbuh terutama dalam jenis segitiga hukum produk negara ini. Menurut Chiba dikanal sebagai the second type of official law atau tipe kedua dari hukum resmi negara, yaitu hukum negara yang tidak benar-benar dibuat oleh negara, melainkan dilegitimasi berlakunya oleh negara. Penalaran yang sama dapat diterapkan pada sisi lain dari “the statist trangle, kepada tipe-tipe hukum produk negara (state-made law) yang mendapat pengaruh dari nilai-nilai dan etika spesifik.
Selanjutnya, ke pembahasan mengenai segitiga hukum alam (the triangle of natural law) dan pengembangan keadaan yang plural, bagi tipe hukum yang bersumber dari segitiga jenis hukum alam ini yang sumbernya telah berutang pada input-input yang berhubungan erat dengan jenis segitiga hukum alam ini. Menurut istilah Chiba sebagai ‘postulat hukum’ yang secara sebagian terbesar telah ‘berutang’, baik mengenai eksistensi mereka maupun mengenai bentuk menreka, akibat kehadiran negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran ‘some rule-negotiating power’ yang menggerakan awal dari segitiga ini.
Di contohkan oleh Achmad Ali dengan cerita, ketika orang melihat sebuah "trafficlight" di persimpangan jalan, maka pernyataan yang muncul bisa bermacam-macam respons, tergantung dari paradigma atau mazhab hukum apa yang mendominasi pikiran dan persepsinya. Seseorang yang berparadigma legalistik-positivis, akan menyatakan: "Trafficlight" itu agar setiap pengguna lalulintas di jalan, harus berhenti jika lampu yang menyala adalah berwarna merah!" Berbeda dengan seseorang yang berparadigma psikologi-hukum (dan paradigma empiris hukum lainnya seperti sosiologi hukum), akan mempertanyakan: "Benarkah ketika lampu merah nanti menyala, semua pengguna jalan akan berhenti?" Kalau orang menaati untuk berhenti ketika lampu merah, apa faktor psikologis yang menyebabkan dia taat? Dan kalau seseorang melanggar lampu merah, apa faktor psikologis yang menyebabkan ketidak-taatannya? Demikianlah opini dan sikap serta perilaku seseorang terhadap suatu fenomena hukum, sangat ditentukan oleh faktor "mazhab hukum" yang mendominasinya.
Contoh lain, orang-orang yang menganut pandangan legalistik-positivis, cenderung akan mempertanyakan: "Bagaimana agar hukum ditaati?" Sebaliknya, seseorang yang menganut paham mazhab empiris, apakah sosiologis, antropologis, psikologis dan lainnya, mungkin pertanyaannya menjadi: "Mengapa hukum harus ditaati?".
Bagi Werner Menski, tentu saja sangat tidak realistis, ketika berbagai sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beranekaragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, misalnya hanya menggunakan pendekatan positivis-normatif belaka atau hanya menggunakan pendekatan empiris saja, atau pendekatan moral belaka. Tak ada metode yang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini kecuali dengan penggunaan secara proporsional secara serentak ketiga pendekatan hukum; normatif, empiris (psikologi hukum, sosiologi hukum, dan lainnya) dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular Concept of Legal Pluralism. Dari paradigma legalistik-positivis saja, tentunya hal satu-satunya yang penting adalah bentuk dari proses lahirnya suatu perundang-undangan, atau dengan kata lain yang paling penting hanyalah "legalitas"nya, bukan soal "legitim atau tidak legitim"nya. Berbeda hanya jika kita menggunakan paradigma mazhab empiris, yang lebih penting dari suatu perundang-undangan ataupun aturan hukum lain, adalah "apa dan bagaimana dampak yang ditimbulkan suatu ketentuan hukum". Timbulnya perbedaan itu, karena memang terdapat asumsi dasar yang berbeda secara mencolok bagi kaum legalistik-positivistik, slogan mereka adalah manusia untuk hukum, atau paling tidaknya, hukum untuk hukum. Berbeda halnya dengan asumsi dasar kaum empiris-hukum yang slogannya adalah hukum harus untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum. Pertemuan antara "ilmu hukum" dan "psikologi hukum", adalah karena keduanya menjadikan perilaku manusia sebagai objek kajiannya. Secara "legal-empiris", dampak mengacu ke perilaku dan perilaku sering dapat diukur secara kuantitatif.
Suatu fenomena hukum yang sama atau mirip, dapat menimbulkan reaksi yang tidak sama dari masyarakat yang berbeda, atau dari individu yang berbeda. Oleh karena itulah, kita dapat menekankan fungsi terpenting dari hukum, adalah sebagai "guiding behavior" atau penuntun perilaku. Dan sebagai konsekuensi dari fungsi tersebut, maka salah satu tujuan utama setiap kajian ilmiah hukum (bukan sekadar kajian praktis seperti yang menjadi tujuan kajian legalistik-normatif) adalah: "menemukan dampak hukum terhadap perilaku manusia ("legal behavior").
Selanjutnya, karena perilaku manusia dipengaruhi bahkan dibentuk oleh berbagai faktor "extra-legal" (faktor nonhukum), faktor sosial, kultur, psikologi, politik, ekonomi, religi, dan lainnya, maka merupakan hal yang tak terhindarkan untuk melibatkan ilmu-ilmu sosial seperti psikolog dalam kajian ilmu hukum, dan inilah yang oleh Richard L Schwartz, dinamakannya sebagai "external method", yang diperlawankan dengan "internal method" (metode tradisional doktrinal yang legalistik-normatif). Bagi Schwartz, Teori Hukum dan Ilmu Hukum dewasa ini, mempunyai karakteristik oleh pembedaan antara "metode tradisional doktrinal" (yang mendominasi kaum positivis) di satu pihak, dengan "pendekatan-pendekatan yang diambil dari disiplin ilmu non-hukum atau extra-legal disciplines (seperti psikologi, sosiologi, sejarah, ekonomi, dan lainnya).
Salah satu subjek psikologi hukum, adalah persepsi warga masyarakat terhadap hukum. Persepsi bangsa Jepang terhadap penyelesaian konflik hukum sangat berbeda dengan persepsi bangsa-bangsa Barat (dan yang juga latah ke Barat-Baratan seperti sebagian anak bangsa Indonesia yang dilanda "virus legalistik-litigasi"). Persepsi penyelesaian konflik Barat adalah win or lose (menang atau kalah). Dan pihak yang menang, benar-benar harus menang telak, sebaliknya pihak yang kalah, juga harus dikalahkan secara telak. Contoh: Undang-undang Kepailitan yang sepenuhnya mengadopsi paradigma Barat, dan yang bisa berakibat, seseorang yang dinyatakan pailit, harus meninggalkan seluruh hartanya. Persepsi bangsa Jepang terhadap penyelesaian konflik, adalah win-win solution (tidak boleh ada yang terlalu kalah, dan tidak boleh ada yang terlalu menang). Di dalam pembagian modern tentang "Sistem Hukum" yang ada di dunia, Sistem Hukum Jepang dan China dikelompokkan sebagai "Far East Legal System" alias Sistem Hukum Timur Jauh, yang sebenarnya, andai Indonesia tidak dirasuki oleh virus legalistik-litigatif mantan penjajahnya, Belanda, juga akan termasuk dalam sistem hukum itu, dan bukannya sebaliknya memaksa mendaulat diri tergolong dalam "Sistem Hukum Eropa Kontiynental".
C. KEADILAN HUKUM DI ARUS GLOBALISASI
Globalisasi menimbulkan ketidakadilan hukum bagi negara berkembang, negara maju mendesak peraturan yang menguntungkannya berlaku di negara berkembang Yang pada akhirnya negara berkembang tidak mampu lagi menghalangi gelombang globalisasi tersebut. Hanya hukum nasional atau lokal yang akan melindungi masyarakatnya dari ketidak-adilan global. Negara sudah tidak mampu lagi melindungi masyarakatnya. Bagaimana hukum akan bekerja di saat gelombang globalisasi begitu kuat. Soebekti berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagian para rakyatnya. Dalam mengabdi kepada tujuan negara itu dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Tujuan hukum menurut hukum positif kita tercantum dalam alinea empat Pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi sebagai berikut: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep keadilan tidak hanya konsep teori yang utama dalam filosofi hukum, tetapi sama pentingya juga dengan pengertian hukum itu sendiri, keadilan juga merupakaan wacana ilmilah yang umumnya mengenai kehidupan publik yang dipahami setiap orang secara intuitif. Satu dari konsep tersebut, seperti “keberadaan atau kebenaran” akan segera dipahami orang, khususnya dalam kontek negosiasi, pada awalnya keadilan cenderung akan menimbulkan ketakutan. Kita dapat memberikan contoh dari ketidak-adilan, tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan langsung yang abstrak mengenai apakah sebenarnya keadilan, maka akan sulit untuk mengetahui dari mana memulainya. Yang jelas adalah bahwa keadilan sebagai konsep moral yang mendasar, dapat didefinisikan dalam konteks yang melibatkan kesadaran, rutinitas dan pengertian moral. Penderitaan yang disebabkan oleh badai, gempa dan serangan gajah tidak dapat dikatakan sebagai suatu ketidak-adilan. Hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai ketidak-adilan adalah kegagalan untuk melepaskan diri dari penderitaan tersebut. Keadilan adalah suatu masalah dimana tidak hanya terdapat unsur kesadaran tetapi juga suatu aktivitas yang mempunyai tujuan. Aktivitas tersebut bisa merupakan keberadaan dari sesuatu yang alami seperti aparatur hukum dan kerajaan, atau sesuatu yang supernatural misalnya kemarahan atau kebaikan Tuhan, adanya tujuan yang disadari merupakan kondisi yang penting dalam membicarakan keadilan.
D. TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM DI HUKUM INDONESIA
Globalisasi sebagai sebuah fakta yang sangat tampak secara luas, bukannya dengan serius ditantang sebagai sebuah peristiwa. Bagaimana menghubungkan globalisasi dengan teori hukum dan pemahaman hukum. Saat ini tidak hanya ada dua sistem hukum di dunia ini, yaitu common law system (Anglo-American Legal System) dan Civil Law (Continental Europa Legal System), tapi lebih bervariatif. Salah satu perbedaannya berikut :
a)      Civil Law, berlaku di Benua Eropa dan negara-negara mantan jajahanya.
b)      Common Law, berlaku di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara berbahasa Inggris (Commonwealth)
c)      Customary Law, di beberapa negara Afrika, Cina dan India.
d)     Muslim Law, di negara-negara muslim, terutama di Timur Tengah.
e)      Mixed system, Di Indonesia salah satunya, dimana berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam.
Dalam konteks demikian, negara maju sangat diuntungkan bila dibandingkan dengan keuntungan yang didapat oleh negara berkembang. Selanjutnya, resep lain yang telah diimplementasikan Indonesia adalah amendemen berbagai peraturan perundang-undangan di bidang yang terkait dengan kegiatan ekonomi dan bisnis. Di antaranya adalah peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas, pasar modal, penanaman modal. Demikian pula sejumlah badan usaha milik negara secara agresif melakukan privatisasi, salah satunya dengan cara kerja sama operasi dan go public. Pemerintah pun melakukan deregulasi atas peraturan perundang-undangan di berbagai sektor. Terakhir sejumlah undang-undang diubah dan dibentuk untuk menguatkan hukum jaminan bagi hak-hak kebendaan, termasuk hak atas kekayaan intelektual.Pemaksaan dilakukan dengan cara mendorong Indonesia mengikuti berbagai perjanjian internasional, di samping memanfaatkan ketergantungan ekonomi Indonesia. Sebagai contoh berbagai perjanjian internasional seperti WTO Agreements telah menjadi perjanjian internasional yang penting untuk mengamankan kepentingan negara industri. Pemaksaan seperti ini sulit untuk disebut sebagai pelanggaran atas hukum internasional ataupun campur tangan dalam urusan domestik Indonesia.

2 Komentar:

  1. sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat bagi pribadi dan orang disekililingnya...semoga review anda sebagai salah satunya...amiinn..

    terima kasih,
    R. Tuahunse

    BalasHapus