A. Biografi Hasan Basri
Nama
lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan di madinah pada tahun
terakhir dari kekhalifaan umar bin khattab pada tahun 21 H. asal
keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak antara basrah dan
wasith. Kemudian mereka pindah ke Madinah.
Ayah
hasan Al- Basri adalah seorang budak milik Zaid bin Tsabit
sedangkan ,ibunya juga seorang budak milik ummu salamah, istri Nabi muhmmad.
Ummu salamah sering mengutus budaknya untuk suatu keperluannya, sehingga hasan
seorang anak budaknya sering disusui oleh ummu salamah. Dikisahkan bahwa ummu
salamah sebelum islam adalah seorang yang paling sempurna akhlaknya dan
pendiriannya sangat teguh, ia juga seorang perempuan yang sangat luas
keilmuaannya diantara istri-istri Nabi.
Kemungkinan besar hasan basri menjadi ulama
yang sangat populer dan sangat dihormati, dikarenakan atas Barakah
susuan ummu salamah yang diberikan ketika Hasan Basri masih kecil.
Pada
usia 12 tahun ia sudah hafal al-qur’an , saat usianya 14 tahun hasan bersama
keluarganya pindah ke kota Basrah, irak. Semenjak itulah ia dikenal
dengan nama Hasan Basri, yaitu Hasan yang bertempat tinggal dikota Basrah.
dikala itu basrah merupakan kota keilmuan yang pesat peradabannya, sehingga
para Tabi’in yang singgah kesana untuk memperdalam keilmuannya. Di
basrah ia sangat aktif untuk mengikuti perkuliahannya, ia banyak belajar kepada
ibnu abbas, dari ibnu abbas ia memperdalam ilmu tafsir, ilmu hadist dan
qira’at. Sedangkan ilmu fiqh, bahasa dan sastra didapatkan dari sahabat yang
lain.
B. Ajaran
Tasawuf Hasan Al-Bashri
Hasan Al-Bashri
adalah seorang sufi tabi'in, seorang yang sangat takwa, wara', dan zahid. Hasan
Al-Bashri tumbuh dalam lingkungan yang saleh dan mendalam pengetahuan agamanya.
Ia menerima hadis dari sebagian sahabat dan menyatakan bahwa kepada Ali ibn Abi
Thalib r.a. diperlihatkan sebagian ilmu pengetahuan maka beliau pun begitu
terpesona melihat pengetahuan itu.[1]
Hasan Al-Bashri dapat rnenyaksikan peristiwa pemberontakan terhadap Usman bin
Affan dan beberapa kejadian politis lainnya yang terjadi di madinah, yang
memorak-morandakan umat Islam. Tanpa dihetahui secara pasti motifnya, beliau
sekeluarga pindah ke Bashrah. Di kota ini,beliau membuka pengajian karena
keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah
terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses kemakmuran ekonomi yang
dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Gerakan itulah yang menjadikan Hasan
Al-Bashri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan
sufi Bashrah. Di antara ajarannya yang terpenting adalah al-zuhud serta
al-khauf dan raja' . beliau dikenal sebagai pendiri madrasah zuhud di kota
Bashrah.
Dalam
perkembangan selanjutnya, Hasan Al-Bashri pun tidak luput dari pelegendaan yang
diembuskan oleh kaum sufi. Mereka mengatakan bahwa Hasan Al-Bashri mengetahui
rahasia-rahasia agama dan ilmu batin. walaupun dalam aktifitas sosialnya, Hasan
Al-Bashri dikenal sebagai figur yang sangat halus hatinya, sangat peka dan
mempunyai kepedulian sosial yang mendalam. Apabila beliau datang, beliau datang
dengan penuh perasaan, dan apabila disebutkan neraka kepadanya, beliau merasa
seakan neraka itu diciptakan hanya untuknya. beliau berkata,
"sesungguhnya, sedih yang berkepanjangan di dunia ini menjadi cambuk untuk
berbuat saleh.[2]
Ketika ditanya
tentang rahasia kesedihannya, Hasan Al-Bashri menjawab, "Sungguh, bagi
seorang mukmin, tidak ada jalan lain, kecuali harus bersedih, karena ia selalu
berada di antara dua ketakutan, yakni dosa yang telah lalu dan perlakuan Allah
kelak. Keduanya adalah "ajal" (saat) yang sudah pasti, tidak seorang
pun tahu, musibah apa yang akan diterimanya dalam ajal itu.[3] Jelaslah, kesedihan Hasan Al-Bashri
sebagaimana tersebut, dimotivasi oleh kezuhudannya dan rasa takut (khauf) akan
dosa serta mengharapkan (raja') ampunan Allah atas segala dosa yang diperbuat.
Hasan Al-Bashri
merupakan salah satu contoh tokoh tasawuf dalam mengekspresikan ajaran
tasawufnya, yang dilandasi oleh aspek sosial-kultural lingkungannya, ketika
terjadi krisis moralitas, terutama di kalangan penguasa. Hasan Al-Bashri merupakan
sufi pertama penyeru gerakan moral tasawuf yang wujud melalui mega proyeknya
zuhud, khauf, dan raja' yang lahir dari kekacauan suasana sosial politik pada
zaman Dinasti Umayyah, yang sangat penting untuk dikaji.
Secara umum,
ekspresi zuhud dan perjalanan spiritual Hasan Al-Bashri, tampaknya memperoleh
infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran
tentang tipe gerakannya yang muncul.Pertama, karena corak kehidupan
lyang profan dan hidup kepelesiran yang
diperagakan oleh umat Islam, terutama para pembesar negeri dan para hzartawan.
Aspek ini, merupakan motivasi yang paling deras mendorong Hasan Al-Bashri untuk
melakukan protes tersamar lewat pendalaman kehidupan spiritual (zuhud) dengan
motivasi etika.
Tampaknya, gerakan
ini beliau orbitkan sebagai gerakan sektarian yang introversionis, pemisahan
dari tren kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri
tanpa memedulikan alam sekitar. Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai
reaksi maksimal pada radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik pada masa
itu. menyebabkan Hasan Al-Bashri terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan
masyarakat ramai, kemudian menyepi dan sekaligus menghindari diri dari
keterlibatan langsung dalam pertentangan politik, untuk mempertahankan
kesalehan dan ketenangan rohaniah. Apabila diukur dari kriteria sosiologi,
tampaknya gerakan Hasan Al-Bashri ini dapat dikategorikan sebagai gerakan
"sempalan", satu gerakan yang sengaja mengambil sikap 'uzlah yang
cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa.
Dalam pandangan
ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan
pelarian, atau upaya mencari kompensasi untuk menang dalam perjuangan duniawi.
Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta
sesama, Hasan Al-Bashri mencoba membangun dunia baru, realitas baru yang
terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan
salju cinta. Ketiga, adalah corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan
ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etika yang menyebabkan
kehilangan moralitasnya, menjadi semacam wahana tanpa isi atau semacam bentuk
tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan
ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana
keakraban personal antara hamba dan penciptaannya.Karena kondisi hukum dan
teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama,
Hasan Al-Bashri tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas.[4]
Dari historis
pengembaraan spiritual Hasan Al-Bashri, aspek social tasawufnya pada prinsipnya
didasarkan atas nilai-nilai Islam sebagai landasannya yang diekspresikan dalam
bentuk kezuhudannya. Tidak hanya terhadap hal-hal yang halal. Menurut Hasan
Al-Bashri, zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara
zuhud terhadap perkara halal adalah suatu keutamaan. Zuhud pada masanya
merupakan bentuk protes. Bentuk protes ini tidak sekadar lari dari realitas
sosial yang dihadapi dengan menyendiri beribadah, tetapi juga gencar melakukan
kritikan dan perbaikan kehidupan masyarakat, terutama ditujukan terhadap
penguasa yang zalim.
1.
Zuhud: Penyucian Jiwa
Lahirnya gerakan
asketisme (zuhud) sebagai bentuk awal dari sufisme dalam Islam. Gerakan ini
mulai muncul secara mencolok, terutama pada zaman dinasti Ummayah di kala
pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan. Penindasan politik para penguasa
pada waktu itu dirasakan oleh masyarakat terlalu oversif sehingga melahirkan
bermacam aksi dan protes sosial, politik. Salah satu reaksi terhadap
ketidakadilan sosial dan degenerasi moral pada waktu itu adalah gerakan sufi
yang mencoba menangkap kedalaman dan spiritual Islam. Bukan Islam yang sudah
dikebiri menjadi sejumlah aturan hukum dan doktrin teologi yang kering, dan
juga bukan Islam yang telah berubah menjadi sistem politik yang memberikan
justifikasi bagi elitisme, nepotisme, dan eksploitasi. Menurut Nicholas,
asketisme (zuhud) merupakan bentuk tasawuf yang paling dini. Ia member atribut
pada para asketis dengan gelar "para sufi angkatan pertama"
(abad-abad pertama dan kedua Hijriah). Selanjutnya, (sampai abad ketiga) mulai
tampak perbedaan jelas antara asketisme.[5]
Jadi, sebelum
lahirnya tasawuf sebagai disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan tasawuf.
Setelah itu, zuhud merupakan salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau pada
mulanya pengertian zuhud itu hanya hidup sederhana, kemudian bergeser dan
berkembang ke arah yang lebih keras dan ekstrem. Pengertian yang ekstrem
tentang zuhud datang pertama kali dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan,
"perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan sekadar untuk dilalui dan sama
sekali tidak membangun apa-apa di atasnya.”[6]
Menurut A.J.
Arberry, Hasan Al-Bashri mengatakan, "Beware of this world with all
wariness, for it is like to snake, smooth to the touch, but is venom is deadly.
Beware of this world for its hopes are lies, its, expectation false."[7]
Bahkan, menurut
Al-Junaid, zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak memiliki siapa saja.
Konsep dasar pendirian tasawuf Hasan Al-Bashri adalah zuhud terhadap dunia,
menolak kemegahannya, semata menuju
kepadaAllah, tawakal, khauf, dan raja' , semuanya tidaklah terpisah. Jangan
hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan.
Takut akan murka-Nya, tetapi mengharap karunia-Nya.[8]
Jadi, Hasan
Al-Bashri senantiasa bersedih hati, senantiasa takut, apabila ia tidak
melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menjauhi larangan sepenuhnya
pula. Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu
dijadikan untuk dia. Abdul Al-Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri
pernah mengatakan, “Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap
barang yang halal daripada yang haram. "
Dari apa yang
disampaikan, secara otomatis, ia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu zuhud
terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer,
sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang-barang yang halal,
suatu tingkatan zuhud yang lebih tinggi dari zuhud sebelumnya. Hasan Al-Bashri
telah mencapai tingkatan kedua, sebagaimana diekspresikan dalam bentuk sedikit
makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman, bahkan ia pernah mengatakan,
“seandainya menemukan alat yang dapat dipergunakan mencegah makan pasti akan
dilakukan- Ia berkata, "aku Senang makan sekali dapat kenyang selamanya,
sebagaimana semen yang tahan dalam air selama-lamanya."[9]
Hasan Al-Basliri
terkenal berpengetahuan mendalam, terkenal pula ke zuhudan (keasketisan) dan
kerendahan hatinya. At-Tausi dalam kitabnva AI-Uma', meriwayatkan, suatu ketika
dikatakan pada Hasan Al-Bashri, "Engliau adalah orang, yang paling
memahami etika. Hal apakah yang paling bermanfaat, baik untuk masa singkat atau
lama" Jawabannya, mendalami agama. Sebab, itu arah kalbu orang-orang
yang menurut ilmu, sikap asketis dalam
hal duniawi, memperdekat pada Tuhan semata, dan mengerti apa yang dianugerahkan
Allah kepadamu. Di dalamnya terkandung kesempurnaan iman."
Dari pemaparan di
atas, jelaslah Hasan Al-Bashri, berupaya untuk selalu meninggalkan dan
memalingkan diri dari hal-hal yang menghalangi untuk mengabdi kepada Tuhannya.
Zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sesuai dengan
pemaknaan zuhud, yaitu ragaba ‘an syai’in ‘wa tarakahu artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
2.
Khauf: Akhlaq Sufi
Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa khauf menurut Hasan Al-Bashri adalah suatu sikap
mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut
dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Karena adanya perasaan
seperti itu beliau selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang
dari yang dikehendaki Allah. Khauf merupakan aspek yang tidak terpisah dari
zuhud. Karena khauf tersebut merupakan tipe kezuhudan Hasan Al-Bashri. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya. Khauf senantiasa meliputi perasaan Hasan Al-Bashri.
Apabila duduk, ia seperti tawanan perang yang menjalani sanksi dipukul
pundaknya, dan jika disebutkan kepadanya tentang neraka, ia merasa bahwa
sepertinya neraka itu diciptakan untuknya. Perasaan al-Khauf (takut) baginya
merupakan sebuah hal (kondisi) dari beberapa ilmu. Perasaan khauf ini menjadi
salah satu maqam (tingkatan) pemberian Allah bagi seorang yang 'arif billah.
Allah
SWT berfirman:
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
Artinya : Dan bagi orang yang takut akan saat
menghadap Tuhannya ada dua syurga ( Q.S. Ar-Rahman: 46)
Dalam hal ini,
Hasan Al-Bashri mengaitkan khauf sebagai hal-hal dalam salah satu maqam untuk
mencapai "keyakinan" (aI-Yaqin).
Allah
SWT. Berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِين
Artinya:"Dan sembahlah Tuhanmu sampai
yakin (ajal) datang kepadanmu.
(Q.S. Al-hijr: 99)
Keyakinan ini
harus ditempuh melalui perasaan takut kepadaAllah SWT., yaitu dengan
mengembangkan sikap mental yang dapat merangsang seseorang melakukan hal-hal
lang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Perasaan khauf
timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga
merasa khawatir apabila melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
3.
Raja' dan Optimisme
Raja' berarti
suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang
disediakan bagi hamba-hambanya yang saleh. Setelah tertanam dalam hati,
perasaan khauf harus dibarengi dengan pengharapan (raja'). KarenaAllah Maha
Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, seorang hamba yang taat merasa optimis akan
memperoleh limpahan karunia Ilahi. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat
ampunan, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang
Allah, karena merasa hal itu akan terjadi. Perasaan optimis akan memberi
semangat dan gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang
diidam-idamkan itu karena Allah adalah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.
Hasan Al-Bashri
semula aktif memberikan fatwa dan dialog dengan penguasa (pada masa Umar bin
Abdul Aziz) tentang kebijaksanaan pemerintahan dan ikut serta mencerdaskan
kehidupan umat dengan mengajarkan hukum syariat, mengajak serta mengikuti
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sasaran dakwah Hasan Al-Bashri
menjangkau lapisan atas dan bawah, kiprahnya beliau memberikan nuansa
tersendiri. Pada masa Umar bin Abdul Aziz berkuasa, ketika nilai-nilai
spiritual dan moralitas sangat dijunjung tinggi, namun setelah habis masa pemerintahan
umar bin Abdul Aziz, ia acuh terhadap penguasa, tidak mendekat pada penguasa
yang zalim.
C. Biografi
Rabiatul Al-Adawiyah.
Rabi’ah al-Adawiyah bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-
Adwiyah Al-Bashriyah Al- Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95H/ 713 M
atau 99 H/ 717 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat
dikota bashrah pada tahun 185H/800M.[10]
Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Bahkan
ketika Rabi’ah dilahirkan, rumah tangga orang tuanya sedang mengalami krisis
ekonomi hingga minyak untuk membeli lampu penerangan guna membantu kelahirannya
pun tidak dimiliki. Kemiskinan yang berkepanjangan itu membuat Rabi’ah akhirnya
menjadi hamba sahaya. Kehidupan hamba sahaya penuh dengan penderitaan yang
selalu datang silir berganti, kemampuan Rabi’ah untuk mengunakan alat musik dan
menyanyi dimanfaatkan oleh majiannya yang haus akan harta dunia. Rabi’ah sadar
benar akan darinya sebagai hamba sahaya dan diperas sedemikian rupa oleh
majiannya, membuat ia selalu meminta petunjuk dan bimbingan kepada Tuhan.
Dipagi hari dan dimalam hari adalah waktu untuk bermunajat kepada Tuha. Rabi’ah
yakin benar bahwa ada suatu waktu pertolongan Tuhan akan datang dan Tuhan tidak
akan menyia-nyiakan hamba-nya yang selalu menderita dan mendekatkan diri
kepada-Nya.
Setiap hari selalu terjadiperubahan pada diri Rabi’ah. Ia
semakin tidak menghiraukan
sekelilingnya, meskipun tugas-tugas setiap hari tetap dilaksanakan
sebagaimana layaknya, ia tidak memperhatikan lagi kehidupan dunia dan hal ini
mulai diketahui oleh majikannya. Suatu malam, majikannya menyaksikan sendiri
Rabi’ah yang sedang sujud mengerjakan shalat malam, sehabis shalat itu, ia
berdoa sambil berkata: “ Ya Rabbi, Engkau Maha Tahu bahwa aku sangat ingin
selalu bersama-Mu, hati nuraniku sangat ingin berbakti sekuat tenagaku
untuk-Mu, seandainya aku yang menentukan keadaanku maka sejenak pun aku tidak
ingin menghentikan baktiku pada-Mu: tetapi Engkau telah menempatkan aku pada
kemurahan hati orang lain.”
Pada pagi harinya, Rabi’ah dipanggil oleh majikannya dan
berkata: “wahai Rabi’ah, aku telah memutuskan untukmemerdekanmu dengan
sepenuhnya, seandainya engkau ingin menetap tingal dirumah ini kami semua akan
gembira dan menerima engkau sebagai orang yang bebas dan menerima fasilitas
dari kami, tetapi seandainya engkau berkeinginan untuk pergi dari rumah ini
maka kami akan mendoakan keselamatan bagimu dan segala permintaanmu itu akan
kami kabulkan”.
Sejak itu, Rabiah kembali ke desa dimana dia dilahirkan
dengan membina kehidupan baru yang menolak kesenangan dan kelezatan dunia,
kehidupan yang diangun atas dasar zuhud, dan mengisinya dngan semata-mata
beribadah kepada Allah yang menjadi tumpuan segala cintanya selama ini. Rabi’ah
selalu memperbanyak taubat,dzikir dan puasa serta shalat siang dan malam,
sebagai perwujudan dari cintanya kepada Allah SWT. Semakin hari semakin
meningkat dan luluh dalam cinta abadi, dan semakin tidak menghiraukan dunia
lagi, bahkan beliau memutuskan untuk tidak menikah karena alasan yang bersikap moral dan spritual. sebagaimana
Hasan Al-bashri yang hendak bertanya kepada beliau tentang alasan kenapa beliau
tidak mau menikah, beliau menjawab: “Pernikahan merupakan keharusan bagi orang
yang memiliki pilihan, sedangkan aku tidak ada pilihan dalam hatiku. Aku hanya
untuk Tuhanku dan taat pada perintahNya”. Sedangkan dalam riwayat lain beliau
ditanya kenapa memutuskan untuk tidak menikah, beliau menjawab: “Di dalam
hatiku terdapat tiga keprihatinan, barang siapa yang dapat melenyapkannya, maka
aku akan mutuskan untuk menikah dengannya, yang pertama apabila aku mati,
apakah ada yang bisa menjamin jika aku menghadap Allah dalam keadaan beriman
dan suci?, kedua apakah ada yang bisa menjamin bahwa aku akan menerima catatan
amalku dengan tangan kanan?, dan yang ketiga apakah ada yang mengetahu kalau
nanti aku akan masuk golongan kanan (surga) atau kiri (neraka)? Jika tidak ada
yang dapat menghilangkan rasa cemas dan keprihatinanku, maka bagaimana mungkin
aku akan mampu berumah tangga, apalagi meninggalkan zikir kepada Allah,
walaupun sekejap”. Cinta Rabi’ah begitu
tulus kepada Rabbnya dan dia tidak mengaharapkan imbalan apapun dari Rabbnya.
D. Mahabbah Rabiatul Adawiyah
Kata mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan
atau cinta yang mendalam.[11]
Dalam mu’jam al-falsafi, jamil shabila
mengatakan Mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci.[12]
Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau
penyayang.[13]
Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang
sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat
material maupun spiritual, seperti cinta seseorang yang kasmaran pada sesuatu
yang dicintanya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu
bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerjaan kepada
pekerjaannya.mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha
sunguh-sunguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan
tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Allah.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk
menunjukan pada suatu paham atau aliran
dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan pada Tuhan.
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud
ialah cinta kepada Allah. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian
yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
1.
Memeluk kepatuhan pada
Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.
Menyerahkan seluruh diri
kepada yang dikasihi.
3.
Mengosongkan hati dari
segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.[14]
Al-sarraj (w.377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan
yaitu:
1.
Cinta biasa, yaitu selalu
mengigat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-nama Allah dan memperoleh
kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
2.
Cinta orang siddiq, yaitu
orang yang kenal kepada tuhan, pada kebesara-Nya tabir yang memisahkan diri
seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada
Tuhan.
3.
Cinta orang ‘Arif, yaitu
mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri
yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri yang
mencintai.
E. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi’ah al- Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam
islam tercacat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah.
Hal ini karena generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam
berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabiah pula yang
pertama-tama mengajukan pengertikan rasa tulu ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabi’ah
Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung
maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika
bermunajat, Ra bi’ah menyatakan doanya. “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang
mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan
melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami”.[15]
Rabi’ah Al Adawiyah juga tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia
memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam
sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf
mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun
dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat
tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan
bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan
pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan
untuk menyelami keindahan–Nya yang azali.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat
kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan.
Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah
Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang
lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus
memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya.
Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan
kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama
sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian
itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih
ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan
itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan
mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan
orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam
sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap
balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu
yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan
sering tak terkendali tersebut.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi
memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi
tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan
kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj
ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan
dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta
itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun. Apa yang diajarkan Rabi’ah
melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan
al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika
Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka
dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia
mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan
surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata.
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu
hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah.
Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia
menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat
aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang
eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku
kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk
rasa membenci syetan”. Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga
ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia
mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering
jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu
sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan
Kekasihnya itu: “ Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku
biar bercakap dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi
hatiku hanya tetap Engkau sendiri”.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia
telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja
bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju
Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan
Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada
amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak
lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup
membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia
mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah
yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan :
Aku mencintai-Mu
dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan
Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta
rindu,
kusibukan diriku
dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan
selain-Mu.
Sedangkan Cinta
karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau
menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada
pujian dalam ini atau itu,
segala pujian
hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas
mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan
mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang
lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah
kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada
dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan
dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya.
Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah,
ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatnya
dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari
keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih
belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap
Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia.
Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa
harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia
menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat
ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti
(yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah
Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak
bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya
di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut
al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).
Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh
Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Kamu belum beriman
sebelum Allah dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.”
Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda, “Cintailah Allah karena nikmat yang
dianugerahkanNya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan
Cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”
Kini
Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan
akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang
ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para
pecinta Ilahi.
[1]
Shah, M. Ainul Abied. (Et. Al). 2001, Islam Garda Depan, Mosaik Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, hal. 218.
[2] Ahmad Bahjat, Bihar Al-Hubb Pledoi Kaum Sufi,
Diterjemahkan Oleh Hasan Abrori Dari Judul Aslinya, Bihar Al-Hubb ‘Inda
Al-Sufiyah, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hal. 160
[3] Bahjat, Ibid, 1997. hal. 160.
[4] Siregar, Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik
Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 37-39
[5] Al Taftazani, Op.Cit, 1985, hal. 77.
[6]
Rivay Siregar, Op.Cit, 1999, Hlm 17.
[7]
A.J. Arberry, Ibid, 1950, Hlm. 33.
[8]
Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Citra Serumpun Padi,
1994, Hlm. 71.
[9]
Abdul Al-Hakim Hasan, Op.Cit, 1954, Hlm. 38.
[10] Farid As-Sin Al-Arththar, muslim saints and mystics,
terj. A.J Arberry, Routledge dan Kegal Paul, 1979., hal. 39.
[11] Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( jakarta:
Hidakarya, 1990), hal. 96.
[12] Jamil Shabila, al-mu’jam al-falsafy, jilid II, (Mesir:
Dar al-Kitab, 1978), hal. 439.
[13] Ibid., hal. 349.
[14] Harun Nasution,falsafah dan mistisisme dalam islam,
(Jakarta Bulan Bintang, 1983), cet. III, hal. 70.
[15] Abu Qasim Al-Karim Al-Qusyairiyyah, Ar-Risalah
Al-Qusyairiyyah fi ‘Iim At-Tashawwuf, Isa Al-Babi Al-Halabi, 1334, hal. 328.
Belajar Ilmu mahabbah nabi yusuf bersama Mbak Hidayah ( ustadzah Hidayah ) ==> silahkan Klik Disini <==
BalasHapus