Minggu, 13 April 2014

Metode Tasawuf: Hasan Al-Basri dan Rabiah Al-Adawiyah


A. Biografi Hasan Basri
 
Nama lengkapnya Hasan Bin Abil Hasan Al Basri, ia dilahirkan di madinah pada tahun terakhir dari kekhalifaan  umar bin khattab  pada tahun 21 H. asal keluarganya berasal dari misan, suatu desa yang terletak antara basrah dan wasith. Kemudian mereka  pindah ke Madinah.
Ayah hasan Al- Basri adalah seorang budak milik  Zaid  bin Tsabit sedangkan ,ibunya juga seorang budak milik ummu salamah, istri Nabi muhmmad. Ummu salamah sering mengutus budaknya untuk suatu keperluannya, sehingga hasan seorang anak budaknya sering disusui oleh ummu salamah. Dikisahkan bahwa ummu salamah sebelum islam adalah seorang yang  paling sempurna akhlaknya dan pendiriannya sangat teguh, ia juga seorang perempuan yang sangat luas keilmuaannya diantara istri-istri Nabi.
Kemungkinan besar hasan basri menjadi ulama yang sangat populer dan sangat dihormati, dikarenakan atas Barakah susuan ummu salamah yang diberikan ketika Hasan Basri masih kecil.
Pada usia 12 tahun ia sudah hafal al-qur’an , saat usianya 14 tahun hasan bersama keluarganya pindah ke kota Basrah, irak. Semenjak  itulah ia dikenal dengan nama Hasan Basri, yaitu Hasan yang bertempat tinggal dikota Basrah. dikala itu basrah merupakan kota keilmuan yang pesat peradabannya, sehingga para Tabi’in yang singgah kesana untuk  memperdalam keilmuannya. Di basrah ia sangat aktif untuk mengikuti perkuliahannya, ia banyak belajar kepada ibnu abbas, dari ibnu abbas ia memperdalam ilmu tafsir, ilmu hadist dan qira’at. Sedangkan ilmu fiqh, bahasa dan sastra didapatkan dari sahabat yang lain.

B.     Ajaran Tasawuf Hasan Al-Bashri
 
Hasan Al-Bashri adalah seorang sufi tabi'in, seorang yang sangat takwa, wara', dan zahid. Hasan Al-Bashri tumbuh dalam lingkungan yang saleh dan mendalam pengetahuan agamanya. Ia menerima hadis dari sebagian sahabat dan menyatakan bahwa kepada Ali ibn Abi Thalib r.a. diperlihatkan sebagian ilmu pengetahuan maka beliau pun begitu terpesona melihat pengetahuan itu.[1] Hasan Al-Bashri dapat rnenyaksikan peristiwa pemberontakan terhadap Usman bin Affan dan beberapa kejadian politis lainnya yang terjadi di madinah, yang memorak-morandakan umat Islam. Tanpa dihetahui secara pasti motifnya, beliau sekeluarga pindah ke Bashrah. Di kota ini,beliau membuka pengajian karena keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat yang telah terpengaruh oleh duniawi sebagai salah satu ekses kemakmuran ekonomi yang dicapai negeri-negeri Islam pada masa itu. Gerakan itulah yang menjadikan Hasan Al-Bashri kelak menjadi orang yang sangat berperan dalam pertumbuhan kehidupan sufi Bashrah. Di antara ajarannya yang terpenting adalah al-zuhud serta al-khauf dan raja' . beliau dikenal sebagai pendiri madrasah zuhud di kota Bashrah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Hasan Al-Bashri pun tidak luput dari pelegendaan yang diembuskan oleh kaum sufi. Mereka mengatakan bahwa Hasan Al-Bashri mengetahui rahasia-rahasia agama dan ilmu batin. walaupun dalam aktifitas sosialnya, Hasan Al-Bashri dikenal sebagai figur yang sangat halus hatinya, sangat peka dan mempunyai kepedulian sosial yang mendalam. Apabila beliau datang, beliau datang dengan penuh perasaan, dan apabila disebutkan neraka kepadanya, beliau merasa seakan neraka itu diciptakan hanya untuknya. beliau berkata, "sesungguhnya, sedih yang berkepanjangan di dunia ini menjadi cambuk untuk berbuat saleh.[2]
Ketika ditanya tentang rahasia kesedihannya, Hasan Al-Bashri menjawab, "Sungguh, bagi seorang mukmin, tidak ada jalan lain, kecuali harus bersedih, karena ia selalu berada di antara dua ketakutan, yakni dosa yang telah lalu dan perlakuan Allah kelak. Keduanya adalah "ajal" (saat) yang sudah pasti, tidak seorang pun tahu, musibah apa yang akan diterimanya dalam ajal itu.[3]  Jelaslah, kesedihan Hasan Al-Bashri sebagaimana tersebut, dimotivasi oleh kezuhudannya dan rasa takut (khauf) akan dosa serta mengharapkan (raja') ampunan Allah atas segala dosa yang diperbuat.
Hasan Al-Bashri merupakan salah satu contoh tokoh tasawuf dalam mengekspresikan ajaran tasawufnya, yang dilandasi oleh aspek sosial-kultural lingkungannya, ketika terjadi krisis moralitas, terutama di kalangan penguasa. Hasan Al-Bashri merupakan sufi pertama penyeru gerakan moral tasawuf yang wujud melalui mega proyeknya zuhud, khauf, dan raja' yang lahir dari kekacauan suasana sosial politik pada zaman Dinasti Umayyah, yang sangat penting untuk dikaji.
Secara umum, ekspresi zuhud dan perjalanan spiritual Hasan Al-Bashri, tampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakannya yang muncul.Pertama, karena corak kehidupan lyang  profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh umat Islam, terutama para pembesar negeri dan para hzartawan. Aspek ini, merupakan motivasi  yang  paling deras mendorong Hasan Al-Bashri untuk melakukan protes tersamar lewat pendalaman kehidupan spiritual (zuhud) dengan motivasi etika.
Tampaknya, gerakan ini beliau orbitkan sebagai gerakan sektarian yang introversionis, pemisahan dari tren kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memedulikan alam sekitar. Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal pada radikalisme kaum Khawarij dan polarisasi politik pada masa itu. menyebabkan Hasan Al-Bashri terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai, kemudian menyepi dan sekaligus menghindari diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik, untuk mempertahankan kesalehan dan ketenangan rohaniah. Apabila diukur dari kriteria sosiologi, tampaknya gerakan Hasan Al-Bashri ini dapat dikategorikan sebagai gerakan "sempalan", satu gerakan yang sengaja mengambil sikap 'uzlah yang cenderung eksklusif dan kritis terhadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau upaya mencari kompensasi untuk menang dalam perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, Hasan Al-Bashri mencoba membangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta. Ketiga, adalah corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etika yang menyebabkan kehilangan moralitasnya, menjadi semacam wahana tanpa isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas paham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan ruhuddin yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptaannya.Karena kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi moral dalam agama, Hasan Al-Bashri tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas.[4]
Dari historis pengembaraan spiritual Hasan Al-Bashri, aspek social tasawufnya pada prinsipnya didasarkan atas nilai-nilai Islam sebagai landasannya yang diekspresikan dalam bentuk kezuhudannya. Tidak hanya terhadap hal-hal yang halal. Menurut Hasan Al-Bashri, zuhud terhadap perkara yang haram adalah suatu kewajiban, sementara zuhud terhadap perkara halal adalah suatu keutamaan. Zuhud pada masanya merupakan bentuk protes. Bentuk protes ini tidak sekadar lari dari realitas sosial yang dihadapi dengan menyendiri beribadah, tetapi juga gencar melakukan kritikan dan perbaikan kehidupan masyarakat, terutama ditujukan terhadap penguasa yang zalim.

1.       Zuhud: Penyucian Jiwa
Lahirnya gerakan asketisme (zuhud) sebagai bentuk awal dari sufisme dalam Islam. Gerakan ini mulai muncul secara mencolok, terutama pada zaman dinasti Ummayah di kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan. Penindasan politik para penguasa pada waktu itu dirasakan oleh masyarakat terlalu oversif sehingga melahirkan bermacam aksi dan protes sosial, politik. Salah satu reaksi terhadap ketidakadilan sosial dan degenerasi moral pada waktu itu adalah gerakan sufi yang mencoba menangkap kedalaman dan spiritual Islam. Bukan Islam yang sudah dikebiri menjadi sejumlah aturan hukum dan doktrin teologi yang kering, dan juga bukan Islam yang telah berubah menjadi sistem politik yang memberikan justifikasi bagi elitisme, nepotisme, dan eksploitasi. Menurut Nicholas, asketisme (zuhud) merupakan bentuk tasawuf yang paling dini. Ia member atribut pada para asketis dengan gelar "para sufi angkatan pertama" (abad-abad pertama dan kedua Hijriah). Selanjutnya, (sampai abad ketiga) mulai tampak perbedaan jelas antara asketisme.[5]
Jadi, sebelum lahirnya tasawuf sebagai disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan tasawuf. Setelah itu, zuhud merupakan salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau pada mulanya pengertian zuhud itu hanya hidup sederhana, kemudian bergeser dan berkembang ke arah yang lebih keras dan ekstrem. Pengertian yang ekstrem tentang zuhud datang pertama kali dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan, "perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan sekadar untuk dilalui dan sama sekali tidak membangun apa-apa di atasnya.”[6]
Menurut A.J. Arberry, Hasan Al-Bashri mengatakan, "Beware of this world with all wariness, for it is like to snake, smooth to the touch, but is venom is deadly. Beware of this world for its hopes are lies, its, expectation false."[7]
Bahkan, menurut Al-Junaid, zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak memiliki siapa saja. Konsep dasar pendirian tasawuf Hasan Al-Bashri adalah zuhud terhadap dunia, menolak  kemegahannya, semata menuju kepadaAllah, tawakal, khauf, dan raja' , semuanya tidaklah terpisah. Jangan hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan. Takut akan murka-Nya, tetapi mengharap karunia-Nya.[8]
Jadi, Hasan Al-Bashri senantiasa bersedih hati, senantiasa takut, apabila ia tidak melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menjauhi larangan sepenuhnya pula. Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu dijadikan untuk dia. Abdul Al-Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri pernah mengatakan, “Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal daripada yang haram. "
Dari apa yang disampaikan, secara otomatis, ia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu zuhud terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang-barang yang halal, suatu tingkatan zuhud yang lebih tinggi dari zuhud sebelumnya. Hasan Al-Bashri telah mencapai tingkatan kedua, sebagaimana diekspresikan dalam bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman, bahkan ia pernah mengatakan, “seandainya menemukan alat yang dapat dipergunakan mencegah makan pasti akan dilakukan- Ia berkata, "aku Senang makan sekali dapat kenyang selamanya, sebagaimana semen yang tahan dalam air selama-lamanya."[9]
Hasan Al-Basliri terkenal berpengetahuan mendalam, terkenal pula ke zuhudan (keasketisan) dan kerendahan hatinya. At-Tausi dalam kitabnva AI-Uma', meriwayatkan, suatu ketika dikatakan pada Hasan Al-Bashri, "Engliau adalah orang, yang paling memahami etika. Hal apakah yang paling bermanfaat, baik untuk masa singkat atau lama" Jawabannya, mendalami agama. Sebab, itu arah kalbu orang-orang yang  menurut ilmu, sikap asketis dalam hal duniawi, memperdekat pada Tuhan semata, dan mengerti apa yang dianugerahkan Allah kepadamu. Di dalamnya terkandung kesempurnaan iman."
Dari pemaparan di atas, jelaslah Hasan Al-Bashri, berupaya untuk selalu meninggalkan dan memalingkan diri dari hal-hal yang menghalangi untuk mengabdi kepada Tuhannya. Zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sesuai dengan pemaknaan zuhud, yaitu ragaba ‘an syai’in ‘wa tarakahu artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
2.       Khauf: Akhlaq Sufi
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa khauf menurut Hasan Al-Bashri adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Karena adanya perasaan seperti itu beliau selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Khauf merupakan aspek yang tidak terpisah dari zuhud. Karena khauf tersebut merupakan tipe kezuhudan Hasan Al-Bashri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Khauf senantiasa meliputi perasaan Hasan Al-Bashri. Apabila duduk, ia seperti tawanan perang yang menjalani sanksi dipukul pundaknya, dan jika disebutkan kepadanya tentang neraka, ia merasa bahwa sepertinya neraka itu diciptakan untuknya. Perasaan al-Khauf (takut) baginya merupakan sebuah hal (kondisi) dari beberapa ilmu. Perasaan khauf ini menjadi salah satu maqam (tingkatan) pemberian Allah bagi seorang yang 'arif billah.

Allah SWT berfirman:
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
Artinya : Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga ( Q.S. Ar-Rahman: 46)

Dalam hal ini, Hasan Al-Bashri mengaitkan khauf sebagai hal-hal dalam salah satu maqam untuk mencapai "keyakinan" (aI-Yaqin).

Allah SWT. Berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِين
Artinya:"Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadanmu.
(Q.S. Al-hijr: 99)

Keyakinan ini harus ditempuh melalui perasaan takut kepadaAllah SWT., yaitu dengan mengembangkan sikap mental yang dapat merangsang seseorang melakukan hal-hal lang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Perasaan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga merasa khawatir apabila melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
3.       Raja' dan Optimisme
Raja' berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang saleh. Setelah tertanam dalam hati, perasaan khauf harus dibarengi dengan pengharapan (raja'). KarenaAllah Maha Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, seorang hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Ilahi. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena merasa hal itu akan terjadi. Perasaan optimis akan memberi semangat dan gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu karena Allah adalah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.
Hasan Al-Bashri semula aktif memberikan fatwa dan dialog dengan penguasa (pada masa Umar bin Abdul Aziz) tentang kebijaksanaan pemerintahan dan ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dengan mengajarkan hukum syariat, mengajak serta mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sasaran dakwah Hasan Al-Bashri menjangkau lapisan atas dan bawah, kiprahnya beliau memberikan nuansa tersendiri. Pada masa Umar bin Abdul Aziz berkuasa, ketika nilai-nilai spiritual dan moralitas sangat dijunjung tinggi, namun setelah habis masa pemerintahan umar bin Abdul Aziz, ia acuh terhadap penguasa, tidak mendekat pada penguasa yang zalim.



C.     Biografi Rabiatul Al-Adawiyah.

Rabi’ah al-Adawiyah bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al- Adwiyah Al-Bashriyah Al- Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95H/ 713 M atau 99 H/ 717 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota bashrah pada tahun 185H/800M.[10] Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Bahkan ketika Rabi’ah dilahirkan, rumah tangga orang tuanya sedang mengalami krisis ekonomi hingga minyak untuk membeli lampu penerangan guna membantu kelahirannya pun tidak dimiliki. Kemiskinan yang berkepanjangan itu membuat Rabi’ah akhirnya menjadi hamba sahaya. Kehidupan hamba sahaya penuh dengan penderitaan yang selalu datang silir berganti, kemampuan Rabi’ah untuk mengunakan alat musik dan menyanyi dimanfaatkan oleh majiannya yang haus akan harta dunia. Rabi’ah sadar benar akan darinya sebagai hamba sahaya dan diperas sedemikian rupa oleh majiannya, membuat ia selalu meminta petunjuk dan bimbingan kepada Tuhan. Dipagi hari dan dimalam hari adalah waktu untuk bermunajat kepada Tuha. Rabi’ah yakin benar bahwa ada suatu waktu pertolongan Tuhan akan datang dan Tuhan tidak akan menyia-nyiakan hamba-nya yang selalu menderita dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Setiap hari selalu terjadiperubahan pada diri Rabi’ah. Ia semakin tidak menghiraukan  sekelilingnya, meskipun tugas-tugas setiap hari tetap dilaksanakan sebagaimana layaknya, ia tidak memperhatikan lagi kehidupan dunia dan hal ini mulai diketahui oleh majikannya. Suatu malam, majikannya menyaksikan sendiri Rabi’ah yang sedang sujud mengerjakan shalat malam, sehabis shalat itu, ia berdoa sambil berkata: “ Ya Rabbi, Engkau Maha Tahu bahwa aku sangat ingin selalu bersama-Mu, hati nuraniku sangat ingin berbakti sekuat tenagaku untuk-Mu, seandainya aku yang menentukan keadaanku maka sejenak pun aku tidak ingin menghentikan baktiku pada-Mu: tetapi Engkau telah menempatkan aku pada kemurahan hati orang lain.”
Pada pagi harinya, Rabi’ah dipanggil oleh majikannya dan berkata: “wahai Rabi’ah, aku telah memutuskan untukmemerdekanmu dengan sepenuhnya, seandainya engkau ingin menetap tingal dirumah ini kami semua akan gembira dan menerima engkau sebagai orang yang bebas dan menerima fasilitas dari kami, tetapi seandainya engkau berkeinginan untuk pergi dari rumah ini maka kami akan mendoakan keselamatan bagimu dan segala permintaanmu itu akan kami kabulkan”.
Sejak itu, Rabiah kembali ke desa dimana dia dilahirkan dengan membina kehidupan baru yang menolak kesenangan dan kelezatan dunia, kehidupan yang diangun atas dasar zuhud, dan mengisinya dngan semata-mata beribadah kepada Allah yang menjadi tumpuan segala cintanya selama ini. Rabi’ah selalu memperbanyak taubat,dzikir dan puasa serta shalat siang dan malam, sebagai perwujudan dari cintanya kepada Allah SWT. Semakin hari semakin meningkat dan luluh dalam cinta abadi, dan semakin tidak menghiraukan dunia lagi, bahkan beliau memutuskan untuk tidak menikah  karena alasan yang  bersikap moral dan spritual. sebagaimana Hasan Al-bashri yang hendak bertanya kepada beliau tentang alasan kenapa beliau tidak mau menikah, beliau menjawab: “Pernikahan merupakan keharusan bagi orang yang memiliki pilihan, sedangkan aku tidak ada pilihan dalam hatiku. Aku hanya untuk Tuhanku dan taat pada perintahNya”. Sedangkan dalam riwayat lain beliau ditanya kenapa memutuskan untuk tidak menikah, beliau menjawab: “Di dalam hatiku terdapat tiga keprihatinan, barang siapa yang dapat melenyapkannya, maka aku akan mutuskan untuk menikah dengannya, yang pertama apabila aku mati, apakah ada yang bisa menjamin jika aku menghadap Allah dalam keadaan beriman dan suci?, kedua apakah ada yang bisa menjamin bahwa aku akan menerima catatan amalku dengan tangan kanan?, dan yang ketiga apakah ada yang mengetahu kalau nanti aku akan masuk golongan kanan (surga) atau kiri (neraka)? Jika tidak ada yang dapat menghilangkan rasa cemas dan keprihatinanku, maka bagaimana mungkin aku akan mampu berumah tangga, apalagi meninggalkan zikir kepada Allah, walaupun sekejap”. Cinta  Rabi’ah begitu tulus kepada Rabbnya dan dia tidak mengaharapkan imbalan apapun dari Rabbnya.

D.      Mahabbah Rabiatul Adawiyah

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan  atau cinta yang mendalam.[11] Dalam  mu’jam al-falsafi, jamil shabila mengatakan Mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci.[12] Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau penyayang.[13] Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cinta seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintanya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerjaan kepada pekerjaannya.mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sunguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Allah.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada  suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Allah. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
1.          Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.          Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.          Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.[14]

Al-sarraj (w.377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan yaitu:
1.         Cinta biasa, yaitu selalu mengigat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
2.         Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada tuhan, pada kebesara-Nya tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan.
3.         Cinta orang ‘Arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri yang mencintai.

E.      Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah

Rabi’ah al- Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam islam tercacat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabiah pula yang pertama-tama mengajukan pengertikan rasa tulu ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Ra bi’ah menyatakan doanya. “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami”.[15] Rabi’ah Al Adawiyah juga tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun. Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata.
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan”. Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu: “ Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri”.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan :
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.


Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatnya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).
Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Kamu belum beriman sebelum Allah dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda,   “Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”
 Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.


[1] Shah, M. Ainul Abied. (Et. Al). 2001, Islam Garda Depan, Mosaik  Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, hal. 218.
[2] Ahmad Bahjat, Bihar Al-Hubb Pledoi Kaum Sufi, Diterjemahkan Oleh Hasan Abrori Dari Judul Aslinya, Bihar Al-Hubb ‘Inda Al-Sufiyah, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hal. 160
[3] Bahjat, Ibid, 1997. hal. 160.
[4] Siregar, Rivay, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 37-39
[5] Al Taftazani, Op.Cit, 1985, hal.  77.
[6] Rivay Siregar, Op.Cit, 1999, Hlm 17.
[7] A.J. Arberry, Ibid, 1950, Hlm. 33.
[8] Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Citra Serumpun Padi, 1994, Hlm. 71.
[9] Abdul Al-Hakim Hasan, Op.Cit, 1954, Hlm. 38.
[10] Farid As-Sin Al-Arththar, muslim saints and mystics, terj. A.J Arberry, Routledge dan Kegal Paul, 1979., hal. 39.
[11] Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( jakarta: Hidakarya, 1990), hal. 96.
[12] Jamil Shabila, al-mu’jam al-falsafy, jilid II, (Mesir: Dar al-Kitab, 1978), hal. 439.
[13] Ibid., hal. 349.
[14] Harun Nasution,falsafah dan mistisisme dalam islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1983), cet. III, hal. 70.
[15] Abu Qasim Al-Karim Al-Qusyairiyyah, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah fi ‘Iim At-Tashawwuf, Isa Al-Babi Al-Halabi, 1334, hal. 328.

1 Komentar: