azis berBAGi inspirasi

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi inspirasi, karena berbagi itu: SHADAQAH...

azis berBAGi referensi

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi referensi, karena berbagi itu: SHADAQAH...

azis berBAGi hypnosist

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi hypnosist, karena berbagi itu: SHADAQAH...

azis berBAGi ilmu

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi ilmu, karena berbagi itu: SHADAQAH...

azis berBAGi pengetahuan

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi pengetahuan, karena berbagi itu: SHADAQAH...

Kamis, 22 Desember 2011

Hukum Waris (Perdata)

Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibat-akibatnya bagi ahli waris. Pada azasnya yang dapat diwariskan hanyalah hak-hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan saja, terkecuali hak-hak dan kewajiban dibidang hukum yang tidak dapat diwariskan, seperti perjanjian kerja, hubungan kerja, keanggotaan perseroan dan pemberian kuasa. Adapun hak-hak dan kewajiban dibidang hukum yang dapat diwariskan, yaitu hak dari suami untuk menyangkal keabsahan anak.
Penempatan hukum waris terdapat pada Pasal 528 dan Pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Didalamnya subjek hukum waris terbagi 2 (dua) yakni :
  • Perwaris, yakni yang meninggalkan harta dan diduga meninggal dengan meninggalkan harta.
  • Ahli waris, yakni mereka yang sudah lahir pada saat warisan terbuka, hal ini berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata.
Adapun prinsip umum dalam kewarisan perdata antara lain :
  • Pewarisan terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta;
  • Hak-hak dan kewajiban dibidang harta kekayaan “beralih” demi hukum. Hal ini berdasarkan Pasal 833 KUHPerdata, yang menimbulkan hak untuk menuntut (Heriditatis Petitio);
  • Yang berhak mewaris menurut UU adalah mereka yang memiliki hubungan darah, hal ini berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata;
  • Harta tidak boleh dibiarkan tidak terbagi; dan
  • Setiap orang cakap untuk mewaris (terkecuali ketentuan pada Pasal 838 KUHPerdata).
KUHPerdata juga mengatur mengenai syarat-syarat pewarisan hukum waris perdata, yang antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Pewaris meninggal dan meninggalkan harta;
  2. Antara pewaris dan ahli waris harus ada hubungan darah. Hal ini untuk maksud mewaris berdasarkan undang-undang;
  3. Ahli waris harus patut mewaris atau cakap mewaris, dan pengecualian terdapat pada ketentuan Pasal 838 KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan, bahwa orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah :
  • Dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal itu;
  • Dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah    mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
  • Dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; dan
  • Dia yang telah menggelapkan. memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang meninggal itu.
Dalam KUHPerdata juga diatur mengenai hal dimana terjadi peristiwa yang menyebabkan pewaris dan ahli waris meninggal secara bersama-sama, hal ini disebutkan dalam Pasal 831 KUHPerdata yang menyatakan, bahwa apabila beberapa orang, yang antara seorang dengan yang lainnya ada hubungan pewarisan, meninggal karena suatu kecelakaan yang sama, atau meninggal pada hari yang sama, tanpa diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu, maka mereka dianggap meninggal pada saat yang sama, dan terjadi peralihan warisan dan yang seorang kepada yang lainnya. Oleh karenanya, dalam hal ini dapat ditegaskan kembali bahwa jika tidak diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu, maka tidak saling mawaris, akan tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu karena bilamana terdapat selisih 1 (satu) detik  maka  dianggap tidak meninggal bersamaan.
Cara-cara mewaris dalam KUHPerdata juga dibagi menjadi beberapa bagian, yakni sebagai berikut :

Mewaris berdasarkan testament.
Dalam hal ini testamen merupakan suatu akta yang memuat tentang apa yang dikehendaki terhadap herta setelah pewaris meninggal dunia dan dapat dicabut kembali (pernyataan sepihak), testament ini diatur dalam Pasal 875 KUHPerdata. Adapun unsur-unsur testament antara lain :
-          Akta;
-          Pernyataan kehendak;
-          Apa yang akan terjadi setelah ia meninggal terhadap harta;
-          Dapat dicabut kembali.
Dan testament tersebut memuat hal-hal sebagai berikut,
  • Syarat-syarat dalam membuat testament, yakni antara lain :
  1. Dewasa atau berumur 18 (delapan belas) tahun. (cakap bertindak);
  2. Akal sehat;
  3. Tidak dapat pengampuan;
  4. Tidak ada unsur paksaan, kekhilafan, kekeliruan; dan
  5. Isi harus jelas.
  • Isi testament, yang antara lain memuat:
  1. Erfstelling, terdapat pada Pasal 954 KUHPerdata;
  2. Legaat (berhubungan dengan harta), terdapat pada Pasal 957 KUHPerdata;
  3. Codicil (tidak berhubungan dengan harta).
Pencabutan testament, antara lain dilakukan dengan cara :
  1. Secara tegas, jika dibuat surat wasiat yang isinya mengenai pencabutan surat wasiat; atau
  2. Secara diam-diam, dibuat testament baru yang memuat pesan-pesan yang bertentangan dengan testament lama.
Mewaris berdasarkan UU (ab intestato)
  • Atas dasar kedudukan sendiri. Dalam hal ini penggolongan ahli waris berdasarkan garis keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam KUHPerdata, antara lain :
  1. Golongan 1, sebagaimana disebutkan pada Pasal 852 sampai Pasal 852a KUHPerdata;
  2. Golongan II, sebagaimana disebutkan pada Pasal 855 KUHPerdata;
  3. Golongan III, sebagaimana disebutkan pada Pasal 850 jo 858 KUHPerdata; dan
  4. Golongan IV, sebagaimana disebutkan pada Pasal 858 sampai dengan Pasal 861 KUHPerdata.
  • Atas dasar penggantian. Dalam hal ini penggantian disyaratkan apabila orang yang digantikan telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Adapaun macam-macam penggantian diantaranya adalah :
  1. Dalam garis lengcang ke bawah tanpa batas, sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 842 KUHPerdata;
  2. Dalam garis menyamping, saudara digantikan anak-anaknya sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 844 KUHPerdata; dan
  3. Penggantian dalam garis samping dalam hal ini yang tampil adalah anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada saudara, misalnya paman, bibi atau keponakan.
Dalam waris perdata juga diatur mengenai bagian anak luar kawin yang diakui, hal ini diatur dalam Pasal 862 sampai dengan Pasal 863 KUHPerdata. Bagian Anak Luar Kawin (ALK) diakui dalam KUHPerdata dengan pengaturan sebagai berikut :
-    Bersama golongan 1, maka ALK mendapat 1/3 dari bagian anak sah.
-    Bersama golongan II, maka ALK mendapat ½ dari harta peninggalan.
-    Bersama golongan III, maka ALK mendapat ¾ dari harta peninggalan.

    sumber: tanyahukum.com

    Senin, 19 Desember 2011

    Tantangan Sosiologi Hukum di Indonesia dalam dimensi Moral

    A. Tantangan Ekstern Sosiologi Hukum
    Sebelum sosiologi hukum lahir dan diakui keberadaannya oleh kalangan akademik maupun profesional, dalam dunia ilmu hukum telah bercokol lebih dahulu apa yang dikenal dengan normatif hukum ataupun dogmatik hukum (rechtsdogmatic). Apa yang disebut dengan dogmatik hukum ini adalah hukum yang berkembang di Indonesia terkait erat dan tak terlepaskan dari sejarah perkembangan hukum di negeri Belanda dan Eropa pada abad 19. Bagi negaranegara di Eropa pada abad 19, merupakan masa gemilang yang di tandai dengan
    peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dimana individu sebagai pusat pengaturan hukun. Kegemilangan itu dilatar belakangi oleh semangat kemerdekaan individu yang berakar dari revolusi Perancis denga slogan liberty egality dan fraternity. Filosofi itu berimbas pada dunia hukum dimana individu begitu dihormati dan dihargai. Semangat dan paham ini untuk selanjutnya diusahakan disebarluaskan dengan cara penaklukan atau penjajahan pada negara lain.

    Indonesia sebagai negara jajahan Belanda tak dapat melepaskan diri dari proses transplantasi hukum Belanda. Disamping itu politik hukum pemerintah kolonial Hindia Belanda. Menerapkan asas konkordasi dan asas ketunggalan hukum (een heidsbeginsel). Dalam bentuk penyusunan kodifikasi dan unifikasi KUHPerdata. KUHDagang dan KUHPidana merupakan asas-asas politik hukum yang mengemuka pada abad ke 19 bahkan berlangsung pasca kolonial Hindia Belanda. Dengan perkembangan hukum seperti di atas, otomatis jenis hukum yang berkembang dan juga dijajarkan pada pendidikan hukum saat itu berupa hukum yang berjiwa individualistik itu sudah harus dipisahkan dengan berbagai hal yang bersifat teologik dan metafisik. Hukum semacam itulah ysng disebut hukum positif dan sekaligus dijadikan sebagai ciri hukum modern.
    Marc Galanter, mendeskripsikan karakteristik hukum modern itu sebagai berikut:
    a.       Hukum modern terdiri atas perbagai aturan yang diterapkan dengan cara uniform dan konsisten.
    b.      Perundang-undangan modern bersifat transaksional;
    c.       Norma-norma hukum modern adalah universalitas;
    d.      Sistemnya adalah berjenjang/hirarkis;
    e.      Sistem ini diatur secara birokratis;
    f.        Sistem hukum modern bersifat rasional;
    g.       Sistem ini dijalankan oleh para ahli hukun sendiri yang khusus belajar profesional;
    h.      Sistem ini lebih bersifat teknis dan kompleks;
    i.         Sistem ini dapat diubah pada aturan dan prosedur guna menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang berubah;
    j.        Sistem hukum modern bersifat politis;
    k.       Legislatif, eksekutif dan yudikatif terpisah dan berbeda jelas;

    Terkait dengan ciri-ciri hukum modern seperti di atas, maka ilmu hukum yang berkembang adalah ilmu hukum dalam pengertian ius. Diantaranya ius constititum yang berbentuk dalam negara dan perlu ada kepastian hukum. Ius ini memiliki dua model. Pertama, model Perancis yang dibentuk oleh legislatif sebagai wujud dari trias politika Montesqiue, yang berkembang di Perancis saat itu. Sehingga disebut continental/civil law system. Kedua, model anglosaxon/common law system yang membentuk yudisial yakni hakim dan lawyer. Sedangkan teori (doktrin) hukum yang terkemuka hingga sekarang (abad 20 dan awal 21) berasal dari teori (doktrin) hukum Hans Kelsen, dapat dicontohkan dengan masih menguatnya aliran positivisme. Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tak dapat dipisahkan dari kehadiran negara modern. Ciri khas dari aliran positivisme pada hukum modern ini bertitik temu pada formalitas, yang berlandaskan pada obyek real dan berangkat dari dedukasi dengan kekuatan logika telah mendapatkan tempat yang signifikan pada kajian teori hukum. Hukum yang dipandang sebagai suatu institusi yang otonom dan murni agar memiliki kekuatan sah dan mampu berlaku maka tak boleh dan tak akan dicampuri oleh aspek non hukum baik politik ekonomi, sosial bahkan moralitas.7 Teori hukum positif berlatar belakang pada liberalisme yakni menjunjung tinggi pada kemerdekaan individu maka perlindungan hukum individu penting untuk diutamakan dan memunculkan rule of law.

    Hukum Indonesia yang termasuk dalam kategori hukum modern itu ternyata tak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang muncul dan dihadapi oleh masyarakat. Dengan mendasarkan dengan apa yang dikemukakan Santos, ketidakmampuan hukum dalam menyelesaikan masalah-masalah itu berkaitan dengan ketidakseimbangan pilar penyangga modernisme. Pilar regulasi mengalami ketidakseimbangan pada prinsip negara dan prinsip pasar dibandingkan dengan prinsip komunitas. Prinsip negara yang didalamnya terkandung kekuatan pemerintah terlalu dominan berkuasa dan prinsip pasar yang didorong maju melalui konglomerasi yang didukung oelh birokrasi. Prinsip negara dan prinsip psar berpadu menjadi satu, sehingga mereka memiliki kekuasaan (dalam hal ini pengusa dan pejabat) juga terjun kedalam bisnis. Dua prinsip itu maju kedepan sedangkan prinsip komunitas ditinggalkan sehingga masyarakat sering menjadi korban dari kredo modernitas.

    Kondisi hukum Indonesia yang seperti itu diistilahkan oleh Dato Param Cumaraswamy disebut sebagai “kebusukan hukum”. Dikatakan bahwa kondisi hukum Indonesia dalam keadaan kritis dan parah karena sudah meliputi kultur baik internal yaitu aparat penegak hukum beserta filosofi peraturan produk perundangan maupun kultur eksternal yaitu masyarakat luas. Selain itu dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia adalah salah satu yang terburuk di dunia, sehingga butuh waktu tahunan untuk memperbaikinya karena terkesan persoalan hukum dibiarkan saja. Penilaian dari Cumaraswamy diperkuat pula hasil jajak pendapat bulan Juni 2003 lalu dari Political Economic Risk Consultancy (PERC) bahwa sistem peradilan dan kepolisian di Indonesia termasuk yang terburuk di Asia, skornya 9,83 dengan nilai terburuk 10.

    Kegagalan hukum modern dalam menyelesaikan persoalan di Indonesia disebabkan karena hukum modern lebih memperhatikan perlindungan kemerdekaan individu daripada sebagai pengantar keadilan. Maka tak heran apabila pada hukum yang diutamakan struktur yang jelas, prosedural dan rigid. Ciri dari instrumen dari hukum modern yaitu penggunaannya dengan sengaja untuk mengejar tujuan-tujuan atau untuk mengantarkan keputusan-keputusan
    politik, sosial dan ekonomi yang diambil oleh negara.
    Disadari atau tidak perkembangan hukum di Indonesia saat ini telah terjebak pada konsep hukum para profesional yang disebut “lawyer’s law, “law for the lawyers” atau “law for the profesionals”. Konsep hukum ini lahir dari pemikiran kaum positivis, yang hanya mau mengakui kebenaran itu pada hal-hal yang pasti, bisa dibuktikan dan bisa diterima akal (logika), sebaliknya semua hal-hal yang serba metafisik dan teologis dinafikan. Konsep hukum ini mulai dikenal sekitar abad 18, dan kini telah merambah dan mendominasi perkembangan hukum seluruh dunia (termasuk Indonesia). Sedemikian kuatnya dominasi aliran positivisme ini, sehingga seolah-olah tidak ada hukum (perundang-undangan) di luar yang telah dipositifkan itu. Hukum positif (tertulis dan terkodifikasi) dipandang sebagai ciri hukun modern, inilah yang disebut hukum negara yang dalam tatanan yang lebih besar, ini termasuk ke dalam tatanan politik.

    Bertolak dari pandangan Sampford bahwa bekerjanya hukum merupakan suatu proses sosial dan lebih khusus lagi adalah proses interaksi antara orang-orang atau aktor-aktor hukum, masyarakat yang bertindak selaku pengawas, pengontrol dan juga korban. Proses sosial merupakan pengaruh timbal balik antara berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Dalam proses sosial tersebut, interaksi sosial merupakan bentuk utamanya. Dalam interaksi sosial terkandung makna tentang kontak secara timbal balik atau inter-simulasi dan respon individu-individu dan kelompok-kelompok. Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu atau kelompok dan mempunyai makna bagi pelakunya, yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain.

    Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung, sehingga terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi. Komunikasi timbul setelah apabila seseorang individu memberi tafsiran pada perilaku orang lain. Dengan tafsiran tadi seseorang mewujudkannya dalam perilaku, dimana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain itu. Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa syarat terjadinya interaksi adalah kontak dan komunikasi.

    Manusia berinteraksi dengan manusia lain dengan berbagai cara termasuk dengan simbol-simbol. Dalam konteks teori interaksionisme simbolik menurut Helbert Blumer, interaksi dengan simbol, isyarat dan juga bahasa menunjukkan kepada sifat kekhasannya adalah bahwa manusia saling menterjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya. Bukan hanya sekedar reaksi belaka dari tindakan seseorang terhadap orang lain tetapi didasarkan pada “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain itu. Interkasi sosial adalah sebuah interkasi antar pelaku dan bukan antar faktor-faktor yang menghubungkan mereka atau yang membuat mereka berinteraksi.

    Teori interaksi simbolik melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana ataupun penyebab ekspresi tingkah laku manusia. Interkasi sosial tidak saja mempunyai korelasi dengan norma-norma, akan tetapi juga dengan status, dalam arti bahwa status memberikan bentuk atau pola interaksi. Status dikonsepsikan sebagai posisi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu kelompok sehubungan dengan orang lain dalam kelompok itu. Status
    merekomendasikan perbedaan martabat, yang merupakan pengakuan interpersonal yang selalu meliputi paling sedikit satu individu yaitu siapa yang menuntut dan individu lainnya yaitu siapa yag menghormati tuntutan itu.

    Sampford dengan jeli dan lugas melancarkan kritik terhadap teori-teori hukum yang dibangun berdasarkan konsep sistem (sistemik atau keteraturan). Bagi dia, hukum itu tidak selalu didasarkan pada teori sistem (mengenai) hukum, karena pada dasarnya hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat menunjukkan adanya hubungan yang tidak simetris (asymmetries). Inilah ciri khas dari sekalian hubungan sosial, yang dipersepsikan secara berbeda oleh para pihak.

    Dengan demikian apa yang dipermukaan tampak sebagai tertib, teratur, jelas dan pasti, sebenarnya di dalamnya penuh dengan ketidakpastian. Pertanyaan-pertanyaan yang didasarkan pada keadaan ketidakpastian, kekacauan atau ketidakberaturan tidak bisa dijawab secara memuaskan dengan menggunakan pendekatan yang linier-mekanistik seperti dalam ajaran rechtdogmatiek atau legal-positivism. Untuk menjawab persoalan-persoalan itu, diperlukan kesediaan setiap orang untuk mau melihat dunia hukum bukan sebagai keadaan yang serba tertib dan teratur, melainkan sebagai realitas yang serba kacau. Dari sinilah teori kekacauan (chaos theory) sebagai bagian dari sosiologi hukum diperlukan.

    Keterbatasan dan kegagalan dogmatik hukum dalam menjelaskan berbagai fenomena dan realistis sosial itu, tidak boleh dibiarkan. Masyarakat akan terus menuntut adanya penjelasan dan penyesuaian yang memuaskan dan benar terhadap persoalan-persoalan tersebut. Dengan kehadiran sosiologi hukum, sekalian persoalan dalam masyarakat itu akan diamati, dicatat dan dijelaskan, dalam kapasitasnya sebagai pengamat dan teoritisi dan bukan sebagai partisipan.

    B. Tantangan Intern Sosiologi Hukum
    Dalam pandangan para sosiolog Barat, basis intelektual sosiologi hukum diletakkan pada hukum alam. Hal itu terjadi karena teori tersebut dapat diibaratkan menjadi “jangkar” dari hukum modern yang semakin menjadi bangunan yang artifisial dan teknologis. Teori hukum alam selalu menuntun kembali sekalian wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia, manusia dan masyarakat. Dia lebih memilih melakukan pencarian keadilan
    secara otentik daripada terlibat ke dalam wacana hukum positif yang berkonsentrasi kepada bentuk, prosedur serta proses formal dari hukum.

    Kebenaran hukum tidak dapat dimonopoli atas nama otoritas para pembuatnya, seperti pada aliran positivisme, melainkan kepada asalnya yang otentik. Kapanpun hukum tetap dilihat sebagai asosiasi manusia yang asli, bukan yang lain. Asosiasi yang otentik itu tidak dapat mati, melainkan akan selalu mengikuti perkembangan dan perubahan hukum sehingga hukum akan tetap memiliki dimensi-dimensi manusia dan masyarakat. Niklas Luhman, sebagaiman dikutip dalam Satjipto Raharjo menyatakan :”….”In the thought of natural law, life together in human society ap-peared to partray not just an abstract norma-tive ought from with arbitrary content, norm simply the functional indispensability of norm, but also norms with a determinate content which lay claim seemingly origin and truth…”. Dalam pikiran seperti itu, maka perkembangan hukum pada hakikatnya adalah menarik dan mengkongkretkan substansi hukum alam ke dalam hukum positif. Ia merupakan sekularisasi hukum alam dan menjadikan hukum alam hadir secara temporer dalam masyarakat. Dikatakan pula oleh Niklas Luhman, bahwa :”…evolutionary thought offers the possibility of relativisation, secularisation and
    temporalysation of natural law…”. Hukum alam itu boleh diibaratkan ruh yang sulit menemukan pemadanan dalam hukum. Seperti dikatakan oleh Wolfgang Friedman, “ The history of natural law is a tale of the search of mankind for absolute justice and its failure”. Hukum alam selalu membayangi hukum positif sebagai kekuatan pendorong ke arah pencapaian ideal keadilan. Dalam kaitan ini, Friedman mengatakan :”Again and again, in the course of the last 2.500 years, the idea of natural law has appeared, in some form or other, as on expression of the aerach an ideal higher than positive law”. Peranan hukum alam yang demikian itu menyebabkan ketegangan yang tidak pernah dapat dihapuskan antara hukum
    dengan kehendak masyarakat tentang bagaimana seharusnya hukum itu bekerja. Hukum alam tidak dapat dilihat sebagai suatu norma yang absolut dan tidak berubah. Seperti dikatakan diatas, ia mencerminkan perjuangan manusia untuk mencari keadilan, suatu yang mungkin tidak pernah ditemukan secara sempurna di dunia ini. Norma hukum alam, kalau boleh disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan cita-cita keadilan yang wujudnya berubah-ubah dari masa ke masa. Dengan demikian, sesungguhnya keadilan merupakan suatu ideal yang isi kongkritnya ditemukan oleh keadaan dan pemikiran jamannya.

    Dari penjelasan di atas, apa yang hendak diutarakan sebagai esensi hukum alam sebagai basis sosiologi adalah bahwa hukum itu sepenuhnya merupakan produk dari masyarakatnya yang tidak mudah untuk direduksi ke dalam peraturan perundangan. Sumber besar hukum alam terhadap sosiologi hukum terletak pada pembebasannya dari hukum positif. Sosiologi hukum mewarisi peran pembebasan itu, oleh karena itu ia selalu mengkaitkan pembicaraan mengenai hukum kepada basis hukum tersebut, baik itu berupa perilaku manusia maupun lingkungan sosial. Sekalian dengan basisnya yakni hukum alam, sosiologi hukum akan menghadapi tantangan intern, utamanya pada soal sekularisasi hukum. Secara khusus bentuk tantangan itu dapat disimak dari pandangan golongan religius yang senantias mengakui keberadaan hukum buatan manusia, akan tetapi ditempatkan dalam kerangka atau bersumber pada tatanan (hukum) di bawah titah sang pencipta, keyakinan itu akan membawa pada kesadaran untuk  menyatukannya, sehingga ketika dihadapkan diantara dua hukum, yaitu hukum manusia ataukah hukum sang pencipta.

    Golongan religius, memandang hukum alam sebagai hukum yang bersumber pada sang pencipta. Di luar itu maka hukum alam yang sekuler dipandang sebagai sesat. Tidak perduli apakah hukum alam itu sudah diundangankan oleh pemerintah yang sah dan melalui prosedur yang sah pula, ataukah hukum alam itu berupa perilaku manusia dan lingkungan sosialnya, selalu keberadaannya mengesampingkan sang pencipta, maka hukum itu dipandang sesat.

    Untuk menjelaskan pandangan golongan religius ini, akan dicoba memberikan contoh kasus. Ketika banyak terjadi perkosaan pada perempuan di Indonesia, seorang Menteri Wanita pada saat itu berapi-api mendesak agar para hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku pemerkosaan. Bahkan direkomendasikan untuk sebaiknya dihukum mati saja. Pertimbangan sangat logis, karena pemerkosa telah menghancurkan masa depan korbannya,
    serta meninggalkan trauma seumur hidupnya. Dalam hal ini hukum diseret untuk lebih berpihak kepada korban pemerkosaan. Untuk itu hukuman yang dijatuhkan harus seberat-beratnya, setimpal dengan derita yang dialami korbannya.

    Sebaliknya, menurut keluarga pelaku, hukuman mati merupakan kedzaliman karena menurut hasil penelitian perkosaan itu kebanyakan terjadi pada orang yang sudah saling kenal. Bahkan separuhnya terjadi atas saling suka, karena keduanya sudah terjalin asmara cinta (pacaran). Biasanya pihak perempuan mengajukan ke pengadilan setelah pihak laki–laki tidak ingin melanjutkannya sampai ke pelaminan.

    Bagi hakim, pembuktian tentang terjadinya perkosaan itu bukan pekerjaan ringan, sebab pihak pelaku selalu mengaku bahwa hubungannya itu atas dasar saling suka. Dengan demikian untuk menjatuhkan hukuman yang berat sulit. Disinilah letak keterbatasan manusia, selagi manusia masih bernama manusia ia tidak bisa lepas dari subjektivitasnya. Ketika menjadi korban atau pembela korban, maka perasaan subjektivitasnya membela mati-matian dan mengutuk habis-habisan pelakunya. Akan tetapi, jika dia menjadi keluarga pelaku atau
    pembela pelaku kejahatan, ia berusaha sekuat tenaga untuk meringankan hukuman, bahkan kalau bisa membebaskannya sama sekali.

    Contoh kasus di atas secara jelas memberikan gambaran bahwa sekularisasi hukum cenderung menyesatkan. Masyarakat akan mengutuk habishabisan terhadap penyelesaian perkara perkosaan yang semata-mata berdasarkan logika, dengan pendekatan linier-mekanistik. Cara-cara pengadilan seperti itu, dalam banyak pengalaman lebih menunjukkan ketidakberdayaan hakim mengungkap kasus yang bersangkutan secara detail, sehingga memunculkan keputusan yang formalistis. Kenyataan ini bisa terjadi karena standar moral yang berlaku didalam proses peradilan sudah bergeser. Ukuran baik buruk telah mengalami distorsi sehubungan dengan semakin tingginya tuntutan hawa nafsu, sehingga bisa mengubah segalanya. Jika standar moral berubah, secara otomatis hukumpun harus diubah atau harus melakukan penyesuaian diri, inilah hukum produk manusia setiap saat dapat dibuat atau ditafsirkan berbeda sesuai dengan keinginan hawa nafsu penggunanya, dan tidak lain mereka itu adalah yang berkuasa atas hukum itu.

    Kritik lain yang harus disampaikan kepada hukum alam bahwa pendapat mayoritas dalam masyarakat, juga bukan jaminan kebenaran. Menjadikan mayoritas suara anggota masyarakat sebagai ukuran kebenaran terbukti bisa merupakan refleksi dari penindasan mayoritas atas minoritas. Sebagai contoh, bahwa dalam komunitas koruptor, melakukan manipulasi data untuk pembengkakan anggaran adalah hal yang wajar. Dengan begitu, tidak perlu dipandang sebagai melanggar hukum. Apabila perilaku seperti itu secara sosiologis dianggap benar, sudah tentu kecenderungan kehidupan di kemudian hari akan semakin banyak koruptor baru.
    Bagi penganut hukum religius, biarpun semua masyarakat menghendaki pelegalan judi, prostitusi, manipulasi, bagaimanapun hukum tak bisa diubah, sampai kapanpun tidak akan ada pemutihan kejahatan. Dengan kata lain, sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun hukum tidak bisa ditawar-tawar dan tidak bisa ditafsirkan secara kontekstual.

    Sosiologi hukum yang berbasis hukum alam menekankan peranannya sebagai pengamat dan penjelas terhadap fenomena dan realitas sosial, walaupun dalam perkembangannya ada keinginan agar disiplin ini juga digunakan sebagai basis penyelesaian perkara. Berbeda dengan peranan yang demikian, penganut sosiologi hukum yang berbasis moral menempatkan hukum tidak sekedar alat untuk mendapatkan keadilan, tetapi juga sebagai alat pendidikan. Sekalian dengan fungsi edukatifnya itu, maka dalam proses hukum selalu melibatkan masyarakat secara transparan, termasuk dalam penerapan hukumnya maupun pemberian sangsi hukum. Melalui proses sosial itu diharapkan tumbuh kesadaran hukum
    bahwa setiap kejahatan akan berakibat fatal bagi pelakunya. Dengan kesadaran yang diperoleh melalui penjelasan dan pengalaman atau penglihatan langsung, maka masyarakat tidak akan mencoba-coba berbuat kejahatan.

    Dari uraian di atas, secara singkat ingin ditegaskan bahwa pembicaraan hukum yang berbasis pada hukum positif. Telah diupayakan pembebasannya oleh sosiologi hukum yang berbasis hukum alam, yaitu dengan menfokuskan perhatiannya pada perilaku manusia dan lingkungan sosial. Keterbatasan sosiologi hukum yang demikian itu berhubungan dengan sifat dan hakikat manusia itu sendiri, yang dalam dirinya melekat hawa nafsu. Pada saat hawa nafsu ini
    menguasai dirinya sehingga moralitas tersampingkan, maka sosiologi hukum pun akan terseret pada kehendak hawa nafsu tersebut sehingga tersesat dari kebenaran yang hakiki. Oleh sebab itu, dimensi moralitas harus dijadikan sebagai basis dalam sosiologi hukum melengkapi basis hukum alam yang telah ada sebelumnya.

    C. Moralitas dan Re-Interpretasi Hukum
    Telah dikemukakan bahwa sosiologi hukum yang berbasis moralitas, menempatkan fungsi edukatif/pendidikan hukum sebagai bagian penting dari proses mewujudkan kedamaian masyarakat yang terbebaskan dari segala bentuk kejahatan. Dalam perkembangan zaman yang terus berubah, pendidikan hukum yang terlalu bersandar pada dogmatik hukum, akan mengakibatkan matinya motivasi untuk mengubah keadaan. Padahal keseluruhan ilmu hukum selalu mengalami pergeseran garis keilmuannya, artinya hukum dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan, baik dalam teks maupun penafsirannya. Kembali pada pandangan golongan religius, hukum dogmatik itu memang ada dan harus ditaati. Bagi muslim misalnya, ketauhidan ataupun apa yang mereka kategorikan sebagai dalil qoth’i, memang ada dan dipatuhi. Biasanya dalil-dalil ini termaktub dalam ayat-ayat mukamad, seperti soal warisan atau perkawinan. Di luar hal-hal itu, hukum-hukum sang pencipta terbuka untuk ditafsirkan secara kontekstual, asal tidak keluar dari bingkai ketauhidan tadi. Di sinilah, manusia dengan kelebihannya dari mahluk lain yang berupa akal, diwajibkan kreatif menemukan hukum-hukum sang pencipta melalui tafsir-tafsirnya yang kontekstual itu.

    Al-Asmawi, mantan ketua MA Mesir, menyatakan bahwa selama sebuah diktum hukum pidana publik mengandung arti cegahan dan hukuman, maka ia dapat disamakan dengan diktum hukum pidana sang pencipta, kesimpulannya, apa yang dikemukakan itu adalah proses re-interpretasi dari hukum sang pencipta. Namun, yang tak dapat dipersoalkan adalah prinsip-prinsipnya, sedangkan rinciannya adalah bagian dari proses re-interpretasi itu sendiri. Inilah sudut pandang yang sesuai dengan sosiologi hukum yang berbasis moral, dengan begitu, prinsip dogmatik hukum baru berjalan seiring dengan sosiologi hukum dalam kendaraan yang sama.

    Proses re-interpretasi hukum dogmatik melalui sosiologi hukum yang berbasis moralitas harus menjadi bagian dari proses pendidikan hukum itu sendiri. Walau demikian harus disadari khususnya bagi bangsa Indonesia, re-interpretasi hukum hukum tidak mudah di lakukan. Persoalannya terpulang pada dua hal, Pertama, pendidikan hukum dogmatik selama ini telah mengakar begitu kuat, baik dalam pendidikan formal maupun non formal sehingga masyarakat tidak sedikit yang telah terjebak dalam pemikiran bahwa tiada hukum kecuali apa yang telah didogmakan itu. Kedua, karena pendidikan hukum itu sendiri cenderung kepada pemantapan ajaran, dan dengan begitu upaya pencarian, pembebasan dan pencerahan sering ditabukan.

    Sabtu, 17 Desember 2011

    Seputar tentang Mahkamah Agung

    Mahkamah Agung dan Landasan Dasarnya

    Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 Poin 2 bahwa, “Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
    Berdasarkan UU No. 48 di atas, definisi tentang Mahkamah Agung dapat dikatakan sebagai berikut:
    Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan Amandemen UUD 1945, Mahkamah Agung menjadi pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
    Landasan Dasar Mahkamah Agung adalah UUD 1945, tepatnya pada BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24A. Pasal 24A ini telah mengalami tiga kali perubahan. Perubahan pertama pada tanggal 19 Oktober 1999 yang kemudian perubahan keduanya pada tanggal 18 Agustus 2000 dan perubahan terakhir pada tanggal 10 November 2001.

    Visi dan Misi Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

    Visi
    Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung.

    Misi
    Menjaga Kemandirian Badan Peradilan.
    Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan.
    Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Badan Peradilan.
    Meningkatkan Kredibilitas dan Transparansi Badan Peradilan.

    Kewajiban dan Wewenang Mahkamah Agung
    Masalah kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor seperti faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan sendirinya menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional. Sebagai puncak kekuasaan tertinggi, Mahkamah Agung mempunyai kewajiban tugas dan wewenang.  Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang Mahkamah Agung adalah:
    Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang;
    Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi; dan
    Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

    Fungsi Mahkamah Agung
    Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki fungsi yaitu: fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi mengatur, fungsi nasehat, fungsi administratif, dan fungsi lain-lain. Untuk lebih jelasnya akan dibahas lebih detail sebagai berikut:

    1. Fungsi Peradilan
    Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia diterapkan secara adil, tepat, dan benar.
    Di samping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir:
    Semua sengketa tentang kewenangan mengadili;
    Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29, 30, 33 dan 34 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985);
    Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).
    Hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan di bawah undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan perturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).

    2. Fungsi Pengawasan
    Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 UU Ketentuan Pokok Kekuasaan No. 14 Tahun 1970).
    Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan:
    Terhadap pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran, dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985);
    Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).

    3. Fungsi Mengatur
    Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggarakan peradilan (Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970, Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985).
    Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur undang-undang.

    4. Fungsi Nasehat
    Mahkamah Agung memberikan nasehat-nasehat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).  Mahkamah Agung memberikan nasehat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
    Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 38 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

    5. Fungsi Administratif
    Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 secara organisatoris, administratif, dan finansial sampai saat ini masih berada di bawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 sudah dialihkan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
    Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (UU. No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

    6. Fungsi Lain-lain
    Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 UU No. 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
    Fungsi-fungsi Mahkamah Agung yang telah disebutkan diatas sudah termasuk dalam tugas dan kewenangan dari Mahkamah Agung sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia.


    Sturktur Organisasi Mahkamah Agung
    Tentang Struktur Organisasi Mahkamah Agung telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung Pasal 5 yang berbunyi:

    Pasal 5
    Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.
    Wakil Ketua Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-yudisial.
    Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda militer, dan ketua muda tata usaha negara.
    Pada setiap pembidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Mahkamah Agung dapat melakukan pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuai ketua muda.
    Wakil ketua bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.
    Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan ketua muda Mahkamah Agung selama 5 (lima) tahun.


    SDM Hakim Mahkamah Agung
    Berdasar pada UUD 1945 Pasal 24A ayat (2) bahwa: “Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum”.

    1. Integritas
    Seorang hakim agung harus memiliki integritas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan.

    2. Kepribadian yang Tidak Tercela
    Dalam hal ini, seorang hakim memiliki kode etik tersendiri yang harus dijalankan agar mencerminkan Kepribadian yang tidak tercela. Kode etik hakim mencakupi Dalam Kedinasan (Sikap dalam persidangan, sikap terhadap sesama rekan, bawahan/pegawai, atasan dan sikap terhadap instansi lain) dan Di Luar Kedinasan (Sikap Pribadi, sikap dalam Rumah tangga dan Masyarakat).

    3. Sikap Adil
    Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai kekuasaan berupa kekuasaan kehakiman. Menurut UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa seorang hakim, hakim agung, ataupun hakim konstitusi harus memiliki sikap adil untuk mencapai (mendekati) keadilan.

    4. Profesional
    UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Berdasar kepada UU ini, bahwa hal yang harus dimiliki oleh hakim sebagai praktisi hukum dalam badan peradilan adalah sikap profesional, dimana badan peradilan dilarang menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak ada atau hukum kurang jelas, melainkan harus mampu memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara meski tidak ada UU yang mengatur tentang perkara tersebut.

    5. Berpengalaman di Bidang Hukum
    Dalam hal ini, untuk menjadi hakim agung harus berpengalama di bidang hukum baik sebagai praktisi hukum (hakim/hakim tinggi) ataupun berpengalaman dalam profesi hukum atau akademisi hukum.

    Persyaratan Menjadi Hakim Agung
    Tentang persyaratan menjadi Hakim Agung telah dikodifikasikan dalam undang-undang. Dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) menjelaskan tentang Pengangkatan Hakim Agung. UU tersebut berbunyi:
    Pasal 30
    Pengangkatan hakim agung berasal dari hakim karier dan nonkarier.
    Pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
    Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam undang-undang.

    Dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 7 ayat (1) dan (2), telah menyebutkan syarat-syarat menjadi hakim agung. UU tersebut berbunyi:
    Pasal 7
    Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi syarat:
    warga negara Indonesia;
    bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
    berijazah serjana hukum atau serjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
    berusia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
    sehat jasmani dan rohani;
    berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi.
    Apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier dengan syarat:
    memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e;
    berpengalaman dalam profesi hukum dan atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
    berijazah magister dalam ilmu hukum dengan dasar serjana hukum atau serjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
    tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.