Sabtu, 17 Desember 2011

Seputar tentang Mahkamah Agung

Mahkamah Agung dan Landasan Dasarnya

Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 Poin 2 bahwa, “Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Berdasarkan UU No. 48 di atas, definisi tentang Mahkamah Agung dapat dikatakan sebagai berikut:
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan Amandemen UUD 1945, Mahkamah Agung menjadi pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
Landasan Dasar Mahkamah Agung adalah UUD 1945, tepatnya pada BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24A. Pasal 24A ini telah mengalami tiga kali perubahan. Perubahan pertama pada tanggal 19 Oktober 1999 yang kemudian perubahan keduanya pada tanggal 18 Agustus 2000 dan perubahan terakhir pada tanggal 10 November 2001.

Visi dan Misi Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:

Visi
Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia Yang Agung.

Misi
Menjaga Kemandirian Badan Peradilan.
Memberikan Pelayanan Hukum Yang Berkeadilan.
Meningkatkan Kualitas Kepemimpinan Badan Peradilan.
Meningkatkan Kredibilitas dan Transparansi Badan Peradilan.

Kewajiban dan Wewenang Mahkamah Agung
Masalah kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor seperti faktor instansi peradilan yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Faktor ini dengan sendirinya menimbulkan masalah kewenangan mengadili secara instansional. Sebagai puncak kekuasaan tertinggi, Mahkamah Agung mempunyai kewajiban tugas dan wewenang.  Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang Mahkamah Agung adalah:
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang;
Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi; dan
Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.

Fungsi Mahkamah Agung
Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki fungsi yaitu: fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi mengatur, fungsi nasehat, fungsi administratif, dan fungsi lain-lain. Untuk lebih jelasnya akan dibahas lebih detail sebagai berikut:

1. Fungsi Peradilan
Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia diterapkan secara adil, tepat, dan benar.
Di samping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir:
Semua sengketa tentang kewenangan mengadili;
Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29, 30, 33 dan 34 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985);
Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).
Hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan di bawah undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan perturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).

2. Fungsi Pengawasan
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 UU Ketentuan Pokok Kekuasaan No. 14 Tahun 1970).
Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan:
Terhadap pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran, dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985);
Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).

3. Fungsi Mengatur
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggarakan peradilan (Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970, Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur undang-undang.

4. Fungsi Nasehat
Mahkamah Agung memberikan nasehat-nasehat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).  Mahkamah Agung memberikan nasehat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 UU Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 38 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

5. Fungsi Administratif
Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 secara organisatoris, administratif, dan finansial sampai saat ini masih berada di bawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 sudah dialihkan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (UU. No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

6. Fungsi Lain-lain
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 UU No. 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
Fungsi-fungsi Mahkamah Agung yang telah disebutkan diatas sudah termasuk dalam tugas dan kewenangan dari Mahkamah Agung sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia.


Sturktur Organisasi Mahkamah Agung
Tentang Struktur Organisasi Mahkamah Agung telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung Pasal 5 yang berbunyi:

Pasal 5
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.
Wakil Ketua Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-yudisial.
Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda militer, dan ketua muda tata usaha negara.
Pada setiap pembidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Mahkamah Agung dapat melakukan pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuai ketua muda.
Wakil ketua bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.
Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan ketua muda Mahkamah Agung selama 5 (lima) tahun.


SDM Hakim Mahkamah Agung
Berdasar pada UUD 1945 Pasal 24A ayat (2) bahwa: “Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum”.

1. Integritas
Seorang hakim agung harus memiliki integritas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan.

2. Kepribadian yang Tidak Tercela
Dalam hal ini, seorang hakim memiliki kode etik tersendiri yang harus dijalankan agar mencerminkan Kepribadian yang tidak tercela. Kode etik hakim mencakupi Dalam Kedinasan (Sikap dalam persidangan, sikap terhadap sesama rekan, bawahan/pegawai, atasan dan sikap terhadap instansi lain) dan Di Luar Kedinasan (Sikap Pribadi, sikap dalam Rumah tangga dan Masyarakat).

3. Sikap Adil
Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai kekuasaan berupa kekuasaan kehakiman. Menurut UUD 1945 Pasal 24 ayat (1) bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa seorang hakim, hakim agung, ataupun hakim konstitusi harus memiliki sikap adil untuk mencapai (mendekati) keadilan.

4. Profesional
UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Berdasar kepada UU ini, bahwa hal yang harus dimiliki oleh hakim sebagai praktisi hukum dalam badan peradilan adalah sikap profesional, dimana badan peradilan dilarang menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak ada atau hukum kurang jelas, melainkan harus mampu memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara meski tidak ada UU yang mengatur tentang perkara tersebut.

5. Berpengalaman di Bidang Hukum
Dalam hal ini, untuk menjadi hakim agung harus berpengalama di bidang hukum baik sebagai praktisi hukum (hakim/hakim tinggi) ataupun berpengalaman dalam profesi hukum atau akademisi hukum.

Persyaratan Menjadi Hakim Agung
Tentang persyaratan menjadi Hakim Agung telah dikodifikasikan dalam undang-undang. Dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) menjelaskan tentang Pengangkatan Hakim Agung. UU tersebut berbunyi:
Pasal 30
Pengangkatan hakim agung berasal dari hakim karier dan nonkarier.
Pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam undang-undang.

Dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 7 ayat (1) dan (2), telah menyebutkan syarat-syarat menjadi hakim agung. UU tersebut berbunyi:
Pasal 7
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung seorang calon harus memenuhi syarat:
warga negara Indonesia;
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
berijazah serjana hukum atau serjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
berusia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun;
sehat jasmani dan rohani;
berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim termasuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi.
Apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier dengan syarat:
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e;
berpengalaman dalam profesi hukum dan atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
berijazah magister dalam ilmu hukum dengan dasar serjana hukum atau serjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

0 Komentar:

Posting Komentar