azis berBAGi inspirasi

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi inspirasi, karena berbagi itu: SHADAQAH...

azis berBAGi referensi

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi referensi, karena berbagi itu: SHADAQAH...

azis berBAGi hypnosist

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi hypnosist, karena berbagi itu: SHADAQAH...

azis berBAGi ilmu

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi ilmu, karena berbagi itu: SHADAQAH...

azis berBAGi pengetahuan

Hal kecil lah yang menjadikan sesuatu itu besar, akrabnya kita kenal sebagai "Permulaan"... Mulailah berbagi pengetahuan, karena berbagi itu: SHADAQAH...

Kamis, 21 Juni 2012

“Triangular Concept of Legal Pluralism” dalam Pendekatan Hukum Modern di Dunia Globalisasi


Pada prinsipnya globalisasi seakan-akan merupakan  musuh besar bagai negara-negara miskin ataupun negara berkembang saat ini yang tidak mampu melawan bahkan menghadang pun tidak bisa. Globalisasi nyata-nyata telah membawa dampak yang sangat besar dan terkadang mempunyai dampak positif dan terkadang pula mempunyai dampak  negatif, namun untuk negara-negara yang masih berkembang tentunya akan lebih banyak dampak negatifnya. Bagi negara maju globalisasi adalah jalan untuk masuk dan mengekploitasi pasar-pasar di negara berkembang.
Menurut pandangan Prof. Werner Menski, yang dipertegas oleh para doktrin hukum lain, Robertson (1995), bahwa titik akhir dari globalisasi merupakan fenomena keanekaragaman yang hampir tak terbatas, yaitu benar-benar sebagai "glocalization" dan bukan sebaliknya, penyeragaman yang sangat tidak realistis. Jadi globalisasi berjalan bersamaan dengan glokalisasi (pluralitas). Perlu didesakkan kepada visi unifikasi anti-pendukung pluralisme bahwa pandangan mereka itu sesat dan sangat membahayakan baik terhadap perdamaian dunia maupun terhadap kesejahteraan global. Di dunia masa kini, hal yang sangat terbukti adalah bahwa munculnya perlawanan sengit dari kalangan yang menolak visi "globalised uniformisation" (unifikasi globalisasi) yang bermaksud menyeragamkan visi global, inisiatif dimana muncul dari Amerika Serikat yang bernafsu untuk menjadikan dunia berada di bawah komandonya.
Permasalahan timbul jika dilihat dari perspektif hukum adalah terjadinya globalisasi hukum, yaitu dengan tidak semakin tegasnya pengaruh hukum dari batas-batas teritorial dan kedaulatan negara sehingga hukum yang berlakupun menjadi semakin plural. Hal ini disebabkan karena seorang individu bukanlah menjadi hanya anggota dari masyarakat lokal, namun juga masyarakat suatu negara dan bagian dari masyarakat internasional. Dalam praksisnya, dapat terjadi pertentangan antara norma-norma yang berasal dari ketiga jenis masyarakat yang berbeda tersebut ataupun dengan norma lainnya seperti norma agama. Dalam hal ini, interpretasi yang dilakukan negara terhadap ketentuan-ketentuan internasional dalam rangka menjadikannya instrumen hukum positif di dalam negeri harus mempertimbangkan kebutuhannya.
Di era modernitas saat ini, dikenal sebuah teori hukum yang menjawab dunia globalisasi yaitu “Triangular Concept Of Legal Pluralism” (Konsep segitiga pluralisme hukum). Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Prof. Werner Menski, seorang profesor hukum dari University of London, pakar hukum di bidang Hukum Bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang menonjolkan karakter plural kultur dan hukum. Dari subyek kajiannya, Menski kemudian memperkenalkan teori hukumnya tersebut, yang sangat relevan bagi hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Munculnya teori “triangular concept of legal pluralism” menyebabkan banyak teori-teori hukum sebelumnya tergeser, seperti teori “The Disorder Of Law” oleh Charles Sampford yang ekstrem untuk menolak eksistensi sistem hukum, dan terutama menggeser keras teori-teori klasik yang dianggap tidak relevan dengan dunia globalisasi, antara lain teori-teori Positivistik dari Hans Kelsen dan Montesqueiu. Tetapi sebaliknya, “Triangular Concept Of Legal Pluralism” dari Menski ini memperkuat konsep Lawrence M. Friedman tentang unsur sistem hukum ke tiga, yaitu Legal Culture (kultur hukum), yang sebelumnya belum dikenal, sebelum Friendman memperkenalkannya di tahun 1970-an. Justru eksistensi kultur hukum yang sifatnya sangat pluralistik, melahirkan kebutuhan adanya sebuah teori hukum yang mampu menjelaskan fenomena pluralisme hukum, yang merupakan suatu realitas.
Di era globalisasi saat ini, dimana hubungan antar warga dunia tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara, tetapi di hampir semua bidang, komunikasi yang semakin canggih menyebabkan dunia tiba-tiba terasa menjadi suatu “negara dunia” dan setiap warga dunia dari suatu negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan berhadapan dengan hukum asing yang tentunya tak mungkin persis sama atau bahkan sangat kontra dengan hukum di negaranya sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan perjalanan ke nagara asing, baik secara fisik maupun melalui “dunia maya” (internet) akan merasakan kehadiran realitas pluralisme hukum itu dalam kehidupanya. Misalnya ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam forum WTO seperti peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang disesuaikan untuk mengikuti standar dalam Trade-Related Intellectual Properties Rights (TRIPS). Contoh lainnya misalnya UU Penanaman Modal yang dibuat dengan menyesuaikan standar-standar yang terdapat dalam Trade-Related Investment Measures (TRIMS).
Pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada baik antar bangsa maupun di dalam satu negara tertentu. Contohnya di Amerika Serikat, setiap ‘State’ (negara bagian) memiliki sistem hukum, sistem peradilan, dan hukum positif masing-masing. Demikian juga di Indonesia, setiap daerah memiliki hukum adat masing-masing melainkan juga pluralisme hukum adalah mengenai perilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada disetiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentunya menjadi sangat tidak realistis, ketika berbagi sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beranekaragam itu, hanya dikaji dengan mengunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, atau pendekatan moral belaka. Metode yang sangat relevan di era globalisasi saat ini adalah menggunakan pendekatan hukum : normatif, empiris dan filsufis secara proporsional dan serentak, metode tersebut di kenal sebagai “Triangular Concept Of Legal Pluralism”.
B. INTI TEORI TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM
Prof. Wener Menski, guru besar hukum dari university of London, Inggris, di dalam bukunya ”Comparative Law in a Global Content” (2006) merumuskan Teori Hukum yang relevan untuk menjawab masalah-masalah hukum yang timbul di era globalisasi. Menski menolak konsep “Anti-Pluralist” atau konsep “Unification Visions” atau “Visions Of Globalised Uniformisation, Made By America Led Initiatives”, yang pada dasarnya berupaya menyeragamkan visi internasional dunia global di bawah satu visi ala Amerika, mengenai isu-isu krusial menyangkut hukum, keadilan dan Hak Asasi Manusia.
Menghadapi era globalisasi dunia, para doktrin hukum modern telah meninggalkan tiga pendekatan hukum klasik yang cenderung ekstrem sempit hanya menggunakan salah satu jenis pendekatan, apakah yang normatif (positivistik), empiris (sosiologis, antropologis, psikologis dan lainnya) atau pendekatan nilai dan moral (filsufis), teori Triangular Concept Of Legal Pluralism (konsep segitiga menghadapi pluralisme hukum di era globalisasi dunia) menggunakan ketiga pendekatan tersebut.
Hukum sebagai fenomena global memiliki kesamaan di seluruh dunia. Dalam arti bahwa di manapun kita berada, hukum terdiri atas dasar nilai etis, norma-norma sosial, dan aturan-aturan yang dibuat oleh negara meskipun tentu saja di dalam realitasnya muncul banyak sekali variasi kultur yang lebih spesifik. Hal ini hanya mengonfirmasikan tentang premis dasar yang telah di ketahui bahwa semua hukum adalah kultur spesifik dan bahwa di dalam berbagai bidang hukum seperti kontrak. Perkawinan, dan pembunuhan adalah merupakan fenomena universal, yang tampak secara terus menerus berubah dari waktu ke waktu. Dengan menggunakan pendekatan tiga tipe utama hukum yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang diciptakan oleh negara dan hukum yang timbulnya melalui nilai serta etika, bahwa ketiga unsur tersebut bersifat plural. Untuk mudah memahami digambarkan oleh Menski, yaitu yang utama pada konsep segitiga adalah unsur ‘masyarakat’ (number 1 to the triangle of society), yang kedua pada unsur ‘negara’ (number 2 to the triangle of state), dan ketiga pada dunia ‘nilai serta etika’ (number 3 to the realm of values and ethics). Dari hal tersebut, menjadi alasan mengapa satu tipe teori hukum terhadap dirinya sendiri tidak akan bekerja untuk menjelaskan sifat alami hukum yang hakikatnya bersifat plural.
Jadi menurut Menski untuk memperkenalkan representasi grafis dari level of intrisic the second pluralisme hukum, dimulai dengan hukum yang di temukan di dalam kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah merupakan tempat dimana hukum selalu berlokasi. Bahwa tak ada masyarakat tanpa hukum, pada poros pusat dalam the triangle of society, norma-norma sosial dan proses-proses yang menghasilkan beberapa validitas dan kewenangan dari lingkungan etika dan nilai-nilai. Secara menyeluruh, citra intrinsik dari pluralisme hukum terdapat dalam The Triangle Of Society. Hal itu membuktikan bahwa ini juga merupakan kehidupan kultur, tetapi kultur yang mungkin juga secara intrisik bersifat plural dan bersifat meluas ke dalam kehidupan kenegaraan dan ke alam nilai. Dengan demikian, hal itu berarti bahwa analisis kultural juga akan memperoleh manfaat dari penerapan metode analisis kesadaran pluralitas (pluralitas-conscious analytical methods).
Selanjutnya, The Triangle Of The State. Jenis hukum yang secara langsung bersumber dari produk negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak terlihat, atau mungkin juga dalam bentuknya sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar. Namun, apapun bentuknya, apapun yang membentuknya, dan apa pun kemungkinan sifat yang tepat dari negara, ini merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai jenis hukum produk negara yang mana dapat mengambil bentuk dari aturan-aturan, norma-norma ataupun input dalam negosiasi, yang tumbuh terutama dalam jenis segitiga hukum produk negara ini. Menurut Chiba dikanal sebagai the second type of official law atau tipe kedua dari hukum resmi negara, yaitu hukum negara yang tidak benar-benar dibuat oleh negara, melainkan dilegitimasi berlakunya oleh negara. Penalaran yang sama dapat diterapkan pada sisi lain dari “the statist trangle, kepada tipe-tipe hukum produk negara (state-made law) yang mendapat pengaruh dari nilai-nilai dan etika spesifik.
Selanjutnya, ke pembahasan mengenai segitiga hukum alam (the triangle of natural law) dan pengembangan keadaan yang plural, bagi tipe hukum yang bersumber dari segitiga jenis hukum alam ini yang sumbernya telah berutang pada input-input yang berhubungan erat dengan jenis segitiga hukum alam ini. Menurut istilah Chiba sebagai ‘postulat hukum’ yang secara sebagian terbesar telah ‘berutang’, baik mengenai eksistensi mereka maupun mengenai bentuk menreka, akibat kehadiran negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran ‘some rule-negotiating power’ yang menggerakan awal dari segitiga ini.
Di contohkan oleh Achmad Ali dengan cerita, ketika orang melihat sebuah "trafficlight" di persimpangan jalan, maka pernyataan yang muncul bisa bermacam-macam respons, tergantung dari paradigma atau mazhab hukum apa yang mendominasi pikiran dan persepsinya. Seseorang yang berparadigma legalistik-positivis, akan menyatakan: "Trafficlight" itu agar setiap pengguna lalulintas di jalan, harus berhenti jika lampu yang menyala adalah berwarna merah!" Berbeda dengan seseorang yang berparadigma psikologi-hukum (dan paradigma empiris hukum lainnya seperti sosiologi hukum), akan mempertanyakan: "Benarkah ketika lampu merah nanti menyala, semua pengguna jalan akan berhenti?" Kalau orang menaati untuk berhenti ketika lampu merah, apa faktor psikologis yang menyebabkan dia taat? Dan kalau seseorang melanggar lampu merah, apa faktor psikologis yang menyebabkan ketidak-taatannya? Demikianlah opini dan sikap serta perilaku seseorang terhadap suatu fenomena hukum, sangat ditentukan oleh faktor "mazhab hukum" yang mendominasinya.
Contoh lain, orang-orang yang menganut pandangan legalistik-positivis, cenderung akan mempertanyakan: "Bagaimana agar hukum ditaati?" Sebaliknya, seseorang yang menganut paham mazhab empiris, apakah sosiologis, antropologis, psikologis dan lainnya, mungkin pertanyaannya menjadi: "Mengapa hukum harus ditaati?".
Bagi Werner Menski, tentu saja sangat tidak realistis, ketika berbagai sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beranekaragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, misalnya hanya menggunakan pendekatan positivis-normatif belaka atau hanya menggunakan pendekatan empiris saja, atau pendekatan moral belaka. Tak ada metode yang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini kecuali dengan penggunaan secara proporsional secara serentak ketiga pendekatan hukum; normatif, empiris (psikologi hukum, sosiologi hukum, dan lainnya) dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular Concept of Legal Pluralism. Dari paradigma legalistik-positivis saja, tentunya hal satu-satunya yang penting adalah bentuk dari proses lahirnya suatu perundang-undangan, atau dengan kata lain yang paling penting hanyalah "legalitas"nya, bukan soal "legitim atau tidak legitim"nya. Berbeda hanya jika kita menggunakan paradigma mazhab empiris, yang lebih penting dari suatu perundang-undangan ataupun aturan hukum lain, adalah "apa dan bagaimana dampak yang ditimbulkan suatu ketentuan hukum". Timbulnya perbedaan itu, karena memang terdapat asumsi dasar yang berbeda secara mencolok bagi kaum legalistik-positivistik, slogan mereka adalah manusia untuk hukum, atau paling tidaknya, hukum untuk hukum. Berbeda halnya dengan asumsi dasar kaum empiris-hukum yang slogannya adalah hukum harus untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum. Pertemuan antara "ilmu hukum" dan "psikologi hukum", adalah karena keduanya menjadikan perilaku manusia sebagai objek kajiannya. Secara "legal-empiris", dampak mengacu ke perilaku dan perilaku sering dapat diukur secara kuantitatif.
Suatu fenomena hukum yang sama atau mirip, dapat menimbulkan reaksi yang tidak sama dari masyarakat yang berbeda, atau dari individu yang berbeda. Oleh karena itulah, kita dapat menekankan fungsi terpenting dari hukum, adalah sebagai "guiding behavior" atau penuntun perilaku. Dan sebagai konsekuensi dari fungsi tersebut, maka salah satu tujuan utama setiap kajian ilmiah hukum (bukan sekadar kajian praktis seperti yang menjadi tujuan kajian legalistik-normatif) adalah: "menemukan dampak hukum terhadap perilaku manusia ("legal behavior").
Selanjutnya, karena perilaku manusia dipengaruhi bahkan dibentuk oleh berbagai faktor "extra-legal" (faktor nonhukum), faktor sosial, kultur, psikologi, politik, ekonomi, religi, dan lainnya, maka merupakan hal yang tak terhindarkan untuk melibatkan ilmu-ilmu sosial seperti psikolog dalam kajian ilmu hukum, dan inilah yang oleh Richard L Schwartz, dinamakannya sebagai "external method", yang diperlawankan dengan "internal method" (metode tradisional doktrinal yang legalistik-normatif). Bagi Schwartz, Teori Hukum dan Ilmu Hukum dewasa ini, mempunyai karakteristik oleh pembedaan antara "metode tradisional doktrinal" (yang mendominasi kaum positivis) di satu pihak, dengan "pendekatan-pendekatan yang diambil dari disiplin ilmu non-hukum atau extra-legal disciplines (seperti psikologi, sosiologi, sejarah, ekonomi, dan lainnya).
Salah satu subjek psikologi hukum, adalah persepsi warga masyarakat terhadap hukum. Persepsi bangsa Jepang terhadap penyelesaian konflik hukum sangat berbeda dengan persepsi bangsa-bangsa Barat (dan yang juga latah ke Barat-Baratan seperti sebagian anak bangsa Indonesia yang dilanda "virus legalistik-litigasi"). Persepsi penyelesaian konflik Barat adalah win or lose (menang atau kalah). Dan pihak yang menang, benar-benar harus menang telak, sebaliknya pihak yang kalah, juga harus dikalahkan secara telak. Contoh: Undang-undang Kepailitan yang sepenuhnya mengadopsi paradigma Barat, dan yang bisa berakibat, seseorang yang dinyatakan pailit, harus meninggalkan seluruh hartanya. Persepsi bangsa Jepang terhadap penyelesaian konflik, adalah win-win solution (tidak boleh ada yang terlalu kalah, dan tidak boleh ada yang terlalu menang). Di dalam pembagian modern tentang "Sistem Hukum" yang ada di dunia, Sistem Hukum Jepang dan China dikelompokkan sebagai "Far East Legal System" alias Sistem Hukum Timur Jauh, yang sebenarnya, andai Indonesia tidak dirasuki oleh virus legalistik-litigatif mantan penjajahnya, Belanda, juga akan termasuk dalam sistem hukum itu, dan bukannya sebaliknya memaksa mendaulat diri tergolong dalam "Sistem Hukum Eropa Kontiynental".
C. KEADILAN HUKUM DI ARUS GLOBALISASI
Globalisasi menimbulkan ketidakadilan hukum bagi negara berkembang, negara maju mendesak peraturan yang menguntungkannya berlaku di negara berkembang Yang pada akhirnya negara berkembang tidak mampu lagi menghalangi gelombang globalisasi tersebut. Hanya hukum nasional atau lokal yang akan melindungi masyarakatnya dari ketidak-adilan global. Negara sudah tidak mampu lagi melindungi masyarakatnya. Bagaimana hukum akan bekerja di saat gelombang globalisasi begitu kuat. Soebekti berpendapat bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagian para rakyatnya. Dalam mengabdi kepada tujuan negara itu dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Tujuan hukum menurut hukum positif kita tercantum dalam alinea empat Pembukaan Undang-undang Dasar, yang berbunyi sebagai berikut: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep keadilan tidak hanya konsep teori yang utama dalam filosofi hukum, tetapi sama pentingya juga dengan pengertian hukum itu sendiri, keadilan juga merupakaan wacana ilmilah yang umumnya mengenai kehidupan publik yang dipahami setiap orang secara intuitif. Satu dari konsep tersebut, seperti “keberadaan atau kebenaran” akan segera dipahami orang, khususnya dalam kontek negosiasi, pada awalnya keadilan cenderung akan menimbulkan ketakutan. Kita dapat memberikan contoh dari ketidak-adilan, tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan langsung yang abstrak mengenai apakah sebenarnya keadilan, maka akan sulit untuk mengetahui dari mana memulainya. Yang jelas adalah bahwa keadilan sebagai konsep moral yang mendasar, dapat didefinisikan dalam konteks yang melibatkan kesadaran, rutinitas dan pengertian moral. Penderitaan yang disebabkan oleh badai, gempa dan serangan gajah tidak dapat dikatakan sebagai suatu ketidak-adilan. Hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai ketidak-adilan adalah kegagalan untuk melepaskan diri dari penderitaan tersebut. Keadilan adalah suatu masalah dimana tidak hanya terdapat unsur kesadaran tetapi juga suatu aktivitas yang mempunyai tujuan. Aktivitas tersebut bisa merupakan keberadaan dari sesuatu yang alami seperti aparatur hukum dan kerajaan, atau sesuatu yang supernatural misalnya kemarahan atau kebaikan Tuhan, adanya tujuan yang disadari merupakan kondisi yang penting dalam membicarakan keadilan.
D. TRIANGULAR CONCEPT OF LEGAL PLURALISM DI HUKUM INDONESIA
Globalisasi sebagai sebuah fakta yang sangat tampak secara luas, bukannya dengan serius ditantang sebagai sebuah peristiwa. Bagaimana menghubungkan globalisasi dengan teori hukum dan pemahaman hukum. Saat ini tidak hanya ada dua sistem hukum di dunia ini, yaitu common law system (Anglo-American Legal System) dan Civil Law (Continental Europa Legal System), tapi lebih bervariatif. Salah satu perbedaannya berikut :
a)      Civil Law, berlaku di Benua Eropa dan negara-negara mantan jajahanya.
b)      Common Law, berlaku di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara berbahasa Inggris (Commonwealth)
c)      Customary Law, di beberapa negara Afrika, Cina dan India.
d)     Muslim Law, di negara-negara muslim, terutama di Timur Tengah.
e)      Mixed system, Di Indonesia salah satunya, dimana berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam.
Dalam konteks demikian, negara maju sangat diuntungkan bila dibandingkan dengan keuntungan yang didapat oleh negara berkembang. Selanjutnya, resep lain yang telah diimplementasikan Indonesia adalah amendemen berbagai peraturan perundang-undangan di bidang yang terkait dengan kegiatan ekonomi dan bisnis. Di antaranya adalah peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas, pasar modal, penanaman modal. Demikian pula sejumlah badan usaha milik negara secara agresif melakukan privatisasi, salah satunya dengan cara kerja sama operasi dan go public. Pemerintah pun melakukan deregulasi atas peraturan perundang-undangan di berbagai sektor. Terakhir sejumlah undang-undang diubah dan dibentuk untuk menguatkan hukum jaminan bagi hak-hak kebendaan, termasuk hak atas kekayaan intelektual.Pemaksaan dilakukan dengan cara mendorong Indonesia mengikuti berbagai perjanjian internasional, di samping memanfaatkan ketergantungan ekonomi Indonesia. Sebagai contoh berbagai perjanjian internasional seperti WTO Agreements telah menjadi perjanjian internasional yang penting untuk mengamankan kepentingan negara industri. Pemaksaan seperti ini sulit untuk disebut sebagai pelanggaran atas hukum internasional ataupun campur tangan dalam urusan domestik Indonesia.

HUKUM PERDATA


1. Pengertian Hukum Benda
Yang dimaksud dengan Benda dalam konteks hukum perdata adalah segala sesuatu yang dapat diberikan / diletakkan suatu Hak diatasnya, utamanya yang berupa hak milik. Dengan demikian, yang dapat memiliki sesuatu hak tersebut adalah Subyek Hukum, sedangkan sesuatu yang dibebani hak itu adalah Obyek Hukum. Benda yang dalam hukum perdata diatur dalam Buku II BWI, tidak sama dengan bidang disiplin ilmu fisika, di mana dikatakan bahwa bulan itu adalah benda (angkasa), sedangkan dalam pengertian hukum perdata bulan itu bukan (belum) dapat dikatakan sebagai benda, karena tidak / belum ada yang (dapat) memilikinya . Pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II BWI ini mempergunakan system tertutup, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam undang undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut dalam hukum perdata, yang namanya benda itu bukanlah segala sesuatu yang berwujud atau dapat diraba oleh pancaindera saja, melainkan termasuk juga pengertian benda yang tidak berwujud, seperti misalnya kekayaan seseorang. Istilah benda yang dipakai untuk pengertian kekayaan, termasuk didalamnya tagihan /piutang, atau hak hak lainnya, misalnya bunga atas deposito . Meskipun pengertian zaak dalam BWI tidak hanya meliputi benda berwujud saja, namun sebagian besar dari materi Buku II tentang Benda mengatur tentang benda yang berwujud. Pengertian benda sebagai yang tak berwujud itu tidak dikenal dalam Hukum Adat kita, karena cara berfikir orang Indonesia cenderung pada kenyataan belaka, berbeda dengan cara berfikir orang Barat yang cenderung mengkedepankan apa yang ada di alam pikirannya. Selain itu, istilah zaak didalam BWI tidak selalu berarti benda, tetapi bisa berarti yang lain, seperti : “perbuatan hukum “ (Ps.1792 BW), atau “kepentingan” (Ps.1354 BW), dan juga berarti “kenyataan hukum” (Ps.1263 BW).

2. Dasar Hukum
Pada masa kini, selain diatur di Buku II BWI, hukum benda juga diatur dalam:
a) Undang Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dimana diatur hak hak kebendaan yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya.
b) Undang Undang Merek No.21 Tahun 1961, yang mengatur tentang hak atas penggunaan merek perusahaan dan merek perniagaan.
 c) Undang Undang Hak Cipta No.6 Tahun 1982, yang mengatur tentang hak cipta sebagai benda tak berwujud, yang dapat dijadikan obyek hak milik.
d) Undang Undang tentang Hak Tanggungan tahun 1996, yang mengatur tentang hakatas tanah dan bangunan diatasnya sebagai pengganti hipotik dan crediet verband .
3. Asas-Asas Hukum Benda
a. Hukum Memaksa
Aturan yang berlaku menurut undang – undang wajib dipatuhi atau tidak boleh disimpangi oleh para pihak.
b. Dapat dipindahkan
Semua hak kebendaan dapat dipindahkan. Menurut perdata barat, tidak semua dapat dipindahkan (seperti hak pakai dan hak mendiami) tetapi setelah berlakunya UUHT, semua hak kebendaan dapat dipindahtangankan.
c. Individualitas
Hak kebendaan selalu benda yang dapat ditentukan secara individu, artinya berwujud dan merupakan satu kesatuan bukan benda yang ditentukan menurut jenis jumlahnya, misalnya memiliki rumah, hewan,dll.
d. Totalitas
Dalam asas totalitas ini mencakup suatu asas perlekatan. Seseorang memiliki sebuah rumah, maka otomatis dia adalah pemilik jendela, pintu, kunci, gerbang, dan benda – benda lainnya yang menjadi pelengkap dari benda pokoknya (tanah).
e. Tak Dapat Dipisahkan
Seorang pemilik tidak dapat memindahtangankan sebagian dari wewenang yang ada padanya atas suatu hak kebendaan seperti memindahkan sebagian penguasaan atas sebuah rumah kepada orang lain. Penguasaan atas rumah harus utuh, karena itu pemindahannya juga harus utuh. Tetapi, Eigendom dapat dibebani dengan hak lain seperti hak tanggungan atau hak memungut hasil. Jika hak – hak tersebut dilepaskan, hal ini tidak berarti pemilik melepaskan sebagian wewenangnya, karena hak miliknya masih utuh.
f. Prioritas
Asas ini timbul sebagai akibat dari asas nemoplus yaitu asa yang menyatakan bahwa seseorang hanya dapat memberikan hak yang tidak melebihi apa yang dimilikinya atau seseorang tidak dapat memindahkan haknya kepada orang lain lebih besar pada hak yang ada pada dirinya.
g. Asas Percampuran.
Percampuran terjadi bila dua atau lebih hak melebur menjadi satu.
h. Pengaturan dan Perlakuan yang Berbeda Terhadap Benda Bergerak dan Tidak Bergerak.
            Pengaturan dan perlakuan dapat disimpulkan dari cara membedakan antara benda bergerak dengan benda tidak bergerak serta manfaat atau pentingnya pembedaan antara kedua jenis benda tersebut.
i. Asas Publisitas
Asas ini berkaitan dengan pengumuman status kepemilikan suatu benda tidak bergerak kepada masyarakat. Sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak perlu didaftarkan, artinya cukup melalui penguasaan dan penyerahan nyata.
j. Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan, perjanjian yang mengakibatkan berpindahnya hak kebendaan. Perjanjian disini bersifat obligatoir, artinya dengan selesainya perjanjian, tujuan pokoknya belum selesai karena baru menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak artinya hak belum beralih sebab masih harus dilakukan penyerahan bendanya terlebih dahulu.

4. Macam-macam Benda
Doktrin membedakan berbagai macam benda menjadi :
a.                   Benda berwujud dan benda tidak berwujud arti penting pembedaan ini adalah pada saat pemindah tanganan benda dimaksud, yaitu :Kalau benda berwujud itu benda bergerak, pemindah tanganannya harus becara nyata dari tangan ke tangan. Kalau benda berwujud itu benda tidak bergerak, pemindah tanganannyaharus dilakukan dengan balik nama.Contohnya, jual beli rokok dan jual beli rumah.
Penyerahan benda tidak berwujud dalam bentuk berbagai piutang dilakukan dengan :
• Piutang atas nama (op naam) dengan cara Cessie.
• Piutang atas tunjuk (an toonder) dengan cara penyerahan surat dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan.
• Piutang atas pengganti (aan order) dengan cara endosemen serta penyerahandokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan ( Ps. 163 BWI).
b. Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak
 Benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkanØ (Ps.509 BWI). Benda bergerak karena ketentuan undang undang adalah hak hak yang melekat pada benda bergerak (Ps.511 BWI), misalnya hak memungut hasil atas benda bergerak, hak memakai atas benda bergerak, saham saham perusahaan.
 Benda tidak bergerak adalah benda yang menurut sifatnya tidak dapatØ dipindahpindahkan, seperti tanah dan segala bangunan yang berdiri melekat diatasnya.  Benda tidak bergerak karena tujuannya adalah benda yang dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai benda pokoknya, untuk tujuan tertentu, seperti mesin mesin yang dipasang pada pabrik.Tujuannya adalah untuk dipakai secara tetap dan tidak untuk dipindah-pindah (Ps.507 BWI).
 Benda tidak bergerak karena undang undang adalah hak hak yang melekatØ pada benda tidak bergerak tersebut, seperti hipotik, crediet verband, hak pakai atas benda tidak bergaerak, hak memungut hasil atas benda tidak bergerak (Ps.508 BWI).
Arti penting pembedaan benda sebagai bergerak dan tidak bergerak terletak pada :
 penguasaannya (bezit), dimana terhadap benda bergerak maka orang yangØ menguasai benda tersebut dianggap sebagai pemiliknya (Ps.1977 BWI); azas ini tidak berlaku bagi benda tidak bergerak. penyerahannya (levering), yaitu terhadap benda bergerak harus dilakukan secara nyata, sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan balik nama ;
 kadaluwarsa (verjaaring), yaitu pada benda bergerak tidak dikenal daluwarsa, sedangkan pada benda tidak bergerak terdapat kadaluwarsa : dalam hal ada alas hak, daluwarsanya 20 tahun;
 dalam hal tidak ada alas hak, daluwarsanya 30 tahun pembebanannya (bezwaring), dimana untuk benda bergerak dengan gadai, sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik.Ø
 dalam hal pensitaan (beslag), dimana revindicatoir beslah (penyitaanØ untuk menuntut kembali barangnya),hanya dapat dilakukan terhadap barang barang bergerak . Penyitaan untuk melaksanakan putusan pengadilan (executoir beslah) harus dilakukan terlebih dahulu terhadapbarang barang bergerak, dan apabila masih belum mencukupi untuk pelunasan hutang tergugat, baru dilakukan executoir terhadap barang tidak bergerak.
c. Benda dipakai habis dan benda tidak dipakai habis
Pembedaan ini penting artinya dalam hal pembatalan perjanjian. Pada perjanjian yang obyeknya adalah benda yang dipakai habis, pembatalannya sulit untuk mengembalikan seperti keadaan benda itu semula, oleh karena itu harus diganti dengan benda lain yang sama / sejenis serta senilai, misalnya beras, kayu bakar, minyak tanah dlsb. Pada perjanjian yang obyeknya adalah benda yang tidak dipakai habis tidaklah terlalu sulit bila perjanjian dibatalkan, karena bendanya masih tetap ada,dan dapat diserahkan kembali, seperti pembatalan jual beli televisi, kendaraan bermotor, perhiasan dlsb .

d. Benda sudah ada dan benda akan ada
Arti penting pembedaan ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang, atau pada pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada dapat dijadikan jaminan hutang dan pelaksanaan perjanjiannya dengan cara menyerahkan benda tersebut. Benda akan ada tidak dapat dijadikan jaminan hutang, bahkan perjanjian yang obyeknya benda akan ada bisa terancam batal bila pemenuhannya itu tidak mungkin dapat dilaksanakan (Ps.1320 btr 3 BWI) .

e. Benda dalam perdagangan dan benda luar perdagangan
Arti penting dari pembedaan ini terletak pada pemindah tanganan benda tersebut karena jual beli atau karena warisan. Benda dalam perdagangan dapat diperjual belikan dengan bebas, atau diwariskan kepada ahli waris,sedangkan benda luar perdagangan tidak dapat diperjual belikan atau diwariskan, umpamanya tanah wakaf, narkotika, benda benda yang melanggar ketertiban dan kesusilaan.

f. Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi
Letak pembedaannya menjadi penting dalam hal pemenuhan prestasi suatu perjanjian, di mana terhadap benda yang dapat dibagi, prestasi pemenuhan perjanjian dapat dilakukan tidak sekaligus, dapat bertahap, misalnya perjanjian memberikan satu ton gandum dapat dilakukan dalambeberapa kali pengiriman, yang penting jumlah keseluruhannya harus satu ton. Lain halnya dengan benda yang tidak dapat dibagi, maka pemenuhan prestasi tidak dapat dilakukan sebagian demi sebagian, melainkan harus secara seutuhnya, misalnya perjanjian sewa menyewa mobil, tidak bisa sekarang diserahkan rodanya, besok baru joknya dlsb.

g. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar
Arti penting pembeaannya terletak pada pembuktian kepemilikannya. Benda terdaftar dibuktikan dengan bukti pendaftarannya, umumnya berupa sertifikat/dokumen atas nama si pemilik, seperti tanah, kendaraan bermotor, perusahaan, hak cipta, telpon, televisi dlsb. Pemerintah lebih mudah melakukan kontrol atas benda terdaftar, baik dari segi tertib administrasi kepemilikan maupun dari pembayaran pajaknya. Benda tidak terdaftar sulit untuk mengetahui dengan pasti siapa pemilik yang sah atas benda itu, karena berlaku azas ‘siapa yang menguasai benda itu dianggap sebagai pemiliknya’. Contohnya, perhiasan, alat alat rumah tangga, hewan piaraan, pakaian dlsb.
5. Hak Kebendaan

5.1. Sifat / Karakter Hak kebendaan.
Perbedaan antara hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BWI dengan hak
perorangan yang diatur dalam Buku III BWI adalah sebagai berikut :
a) Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut), karena berlaku terhadap siapa saja, dan orang lain harus menghormati hak tersebut, sedangkan hak perorangan berlaku secara nisbi (relatief), karena hanya melibatkan orang / pihak tertentu saja, yakni yang ada dalam suatu perjanjian saja.
b) Hak kebendaan berlangsung lama, bisa jadi selama seseorang masih hidup, atau bahkan bisa berlanjut setelah diwariskan kepada ahli warisnya, sedangkan hokum perorangan berlangsung relatif lebih singkat, yakni sebatas pelaksanaan perjanjian telah selesai dilakukan.
c) Hak kebendaan terbatas pada apa yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku, tidak boleh mengarang / menciptakan sendiri hak yang lainnya, sedangkan dalam hak perorangan, lingkungannya amat luas, apa saja dapat dijadikan obyek perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu sering dikatakan hokum kebendaan itu bersifat tertutup, sedangkan hukum perorangan bersifat terbuka.

Ciri ciri Hak Kebendaan adalah :
 Mutlak / absolute mengikuti benda dimana hak itu melekat, misalnya hak sewa tetap mengikuti benda itu berada, siapapun yang memiliki hak diatasnya.
hak yang ada terlebih dahulu (yang lebih tua), kedudukannya lebih tinggi; misalnya sebuah rumah dibebani hipotik 1 dan hipotik 2, maka penyelesaian hutang atas hipotik 1 harus didahulukan dari hutang atas hipotik 2. memiliki sifat diutamakan, misalnya suatu rumah harus dijual untuk melunasi hutang, maka hasil penjualannya lebih diutamakan untuk melunasi hipotik atas rumah itu.dapat dilakukan gugatan terhadap siapapun yang mengganggu hak yang bersangkutan.pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada siapapun.

5.2. Penggolongan Hak Kebendaan
 Hak atas Kebendaan dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu :
• Hak Kebendaaan yang memberi kenikmatan.
• Hak Kebendaan Yang bersifat Memberi Jaminan

5.3. Perolehan Hak Kebendaan
Ada beberapa cara untuk memperoleh hak kebendaan, seperti :
a.                   Melaui Pengakuan
b.                  Melalui Penemuan
c.                   Melalui Penyerahan
d.                  Dengan Daluwarsa
e.                  Melalui Pewarisan
f.                    Dengan Penciptaan
g.                   Dengan cara ikutan / turunan

5.4. Hapusnya Hak Kebendaan
Hak kebendaan dapat hapus / lenyap karena hal hal :
a.                   Bendanya Lenyap / musnah
b.                  Karena dipindah-tangankan
c.                   Karena Pelepasan Hak
d.                  Karena Kadaluwarsa
e.                  Karena Pencabutan Hak